Perak Koto Gadang


Jika kota pelajar Yogjakarta punya Kota Gede, Bukittinggi yang lebih terkenal dengan Jam Gadangnya ternyata punya pusat kerajinan perak. Meskipun nama depannya hanya beda satu huruf, keduanya memiliki arti yang sama. Yap, Bukittinggi punya Koto Gadang. Koto Gadang artinya sama Kota Gede! Wew tak kukira, arti nama sama, pun pusat kerajinan yang sama.

Mulanya ibu pemilik Hotel Sari, Bukittinggi yang menyarankan agar kami juga berkunjung ke sana. Kata dia, ”Mumpung masih di seputaran Bukittinggi. Tempatnya juga sangat dekat. Naik mobil angkutan hanya dua kali dengan ongkos dua ribu sekali jalan.”

Heri yang suka bercerita pada orang-orang yang kami temui sangat antusias dengan saran si ibu. Agam Aceh ini malah mengungkapkan, ”Kalau ke sana, kami bisa melihat proses pembuatan kerajinan perak. Bukan hanya sekedar melihat hasil jadi. Orang-orang kadang lebih suka melihat hasil jadi tanpa tahu bagaimana proses awalnya. Padahal ini tidak kalah penting.”

Sepi
Rumah bercat putih memudar, serba putih plus pagarnya tampak perkasa tapi anggun. Satu pintunya terbuka. Dari jalan nampak sunyi, sesunyi jalan yang menghampar sawah pada kaki Singgalang ini. ”Ada orangnya nggak ya?” pertanyaan yang sebenarnya tak perlu dijawab. Icha yang kelelahan lesu berjalan menaiki tangga sebelum masuk Yayasan ”Keradjinan Amai Setia” souvenir center.

Sejak 1915, hampir satu abad
Di dalam rumah yang berlantai kayu kokoh hanya ada tiga orang, ketiganya perempuan. Tak tampak pengunjung lain kecuali kami bertiga. ”Sekarang orang kurang berkunjung ke sini. Orang sudah beralih dari perak ke emas. Perak tidak lagi berdaya tarik besar,” ujar kak Yeti.

Lemari demi lemari kusinggahi. Saat melihat cincin batu akik, bibirku mengembang. Batunya besar menutup cincin perak berukuran kecil. Aih, kalau disematkan di jariku lucu juga. Mungkin anak-anak lari ketakutan karena mengira aku seorang dukun!

Miniatur Jam Gadang dipajang dalam kotak kaca. Tinggi persis bentuk aslinya. Meski demikian, ukiran rumitnya membuatku termenung sejak. Bagaimana ya cara membuatnya? Bisa secantik ini.

rumah gadang perak

Selain jam gadang, ada pula miniatur Rumah Gadang. Ukurannya lebih besar dan tak kalah rumit. Ia dipajang di sudut antara lemari satu dengan lemari pajangan lainnya. Harganya? Aku tidak melihat kertas kecil yang menunjukkan angka rupiah di sana.

Cincin jari tangan, cincin jari kaki, anting-anting, subang, kalung hingga pernak-pernik hiasan pajangan tertata rapi pada lemari. Icha tertarik membeli gelang kaki. ”Tujuh puluh lima ribu,” kata kawan kak Yeti. Aku sendiri membeli subang dan anting. Keduanya cukup kubawa pulang dengan harga yang sama dengan gelang kaki Icha.

Saat Heri menanyakan tentang proses pembuatan kerajinan perak ini, kak Yeti mengatakan bahwa bengkel tidak ada di rumah ini. ”Dulu ada yang menggarap di sini, tapi kian sepi akhirnya di sini hanya menjadi tempat menampung hasil kerajinan. Semua yang dijual di sini adalah karya perajin di Koto Gadang,” ujar kak Yeti.

Ada sulaman juga
Icha rupanya tertarik dengan selembar kain warna hitam. Lembarannya digelar pada kayu yang mirip kaki meja. Bentuknya segi panjang. Dari jauh nampak berpinggir warna merah. Oh, rupanya kain penutup besi yang ditali oleh kain berukuran panjang dua meter itu. Hitam kain itu berhias sulaman benang emas. Cantik terlihat. Sayang, Heri ternyata tidak mengambil fotonya.

Kak Yeti memperlihatkan pada kami cara pembuatan sulaman itu. Benang warna-warni menempati posisinya masing-masing pada kayu khusus penggulung. Bentuk kayunya mirip obeng. Bedanya, ia tanpa menggunakan besi dan ujungnya tidak runcing. Sebab, pada ujung melengkung itulah benang tidak meluncur keluar liar dari penggulungnya.

lincah, teliti, sabar

Usai satu jarum pentul ditancapkan, tangan kak Yeti lincah mempermainkan tak kurang tiga belas penggulung benang. Selang-seling bergerak ke sana kemari. Gerakannya lebih cepat dari putaran jarum detik jam dinding. ’Permainan tangan’ lincah kak Yeti menghasilkan untai demi untai sulaman. Kata kakak berkulit bersih ini, ”Kuncinya Cuma harus sabar saat menyulam. Sama sabarnya dengan membuat kerajinan perak sehingga jadi indah hasilnya”

Selain kerajinan perak, yayasan ini juga menjual hasil-hasil kerajinan sulaman dari para perempuan seputar desa ini. Baju, mukena, selendang, hingga bahan kain untuk baju ada di sini. Harganya tentu juga ditentukan dari bahan kain, juga rumit tidaknya sulaman yang dihasilkan.

Ganti profesi
Heri tampak kecewa setelah turun dari rumah berplang bengkel kerajinan perak. Memang, beberapa rumah kerajinan perak yang kami singgahi sedang tidak beroperasi. Alasannya yang dilontarkan para pemilik bengkel adalah tidak ada bahan baku. Selain juga alasan semakin sepinya peminat perak pada saat sekarang.

”Jaman dulu perak kan jadi perhiasan yang dihantar pada calon pengantin perempuan. Jaman raja-raja pun juga memakai perak. Sekarang ya jarang Nak yang beli. Untuk investasi pun tak laku kan? Orang sekarang milih beli emas. Kalau memakai emas juga seakan jadi lebih tinggi derajatnya,” ujar seorang bapak pemilik warung depan bengkel yang dimasuki Heri dan Icha.

Kata bapak tiga anak ini, para perajin sudah banyak yang beralih profesi, termasuk dirinya. Ia yang memiliki ketrampilan turun temurun dari orangtuannya itu juga mengaku tidak bisa berbuat banyak. ”Namanya bekerja, maunya membuat dan laku terus. Jadi ya kita bisa membuat terus kerajinan perak. Sekarang sepi begini. Sementara anak butuh makan, butuh sekolah. Makanya banyak perajin pindah profesi. Perak kurang memberi hasil sekarang,” ungkapnya lesu.

Lalu, akankah bangunan bertanda tahun 1915 di bawah tulisan ”Keradjinan Amai Setia” itu juga akan tutup usia seperti para peminatnya?

menghadap dedaun padi di kaki singgalang (Foto-foto by Heri Tarmizi)

10 Komentar

  1. Lempoeng Sadewo said,

    2 Juni 2010 pada 5:54 am

    emas memang menang pamor dr pd perak. tp buat bisnis komoditi perak bakal gak kalah jauh ma perak lho. palagi dikasih sentuhan yg bernama kreatifitas n seni. wah bakal ngalahi china tuh…

    • naribungo said,

      2 Juni 2010 pada 6:05 am

      tapi kata kak Yeti dan bapak yang telah beralih profesi, perak sekarang sepi peminat mas…

  2. Icha said,

    31 Mei 2010 pada 2:54 pm

    wah ,, Mantap Bgt perjalanannya Buk,, perjalanan yg tak terduga,,, tp sayang Buk gelang kaki Cha putus,, dan ketinggalan di Bukit Tinggi…

    • naribungo said,

      2 Juni 2010 pada 2:42 am

      tulisanmu mana cha? katamu ada byk yg bisa diceritakan?

  3. heri tarmizi said,

    31 Mei 2010 pada 7:27 am

    agam aceh? he…he..

    • naribungo said,

      31 Mei 2010 pada 7:33 am

      kata indra begitu… laki-laki agam kan? kalau perempuan inong

  4. Nuskan Syarif said,

    31 Mei 2010 pada 5:44 am

    disaat kita ada waktu yang bersamaan bu… nus juga pengen jalan2 ama ibu dan membuat tulisan yang belum pernah nus buat hehehehhehe

    • naribungo said,

      31 Mei 2010 pada 6:48 am

      ok ok, tak tunggu tenan yo

  5. Nuskan Syarif said,

    31 Mei 2010 pada 5:25 am

    Muanteb dah… TOPW banget dah

    • naribungo said,

      31 Mei 2010 pada 5:28 am

      hehehe, kapan nus, kita jalan-jalan?


Tinggalkan Balasan ke naribungo Batalkan balasan