Ponakanku Sekolah di Pasar! Gurunya Pedagang Semua!

“Le le, kowe sekolah kok neng pasar! Gurumu pedagang kabeh! Sithik-sithik duit, sithik-sithik duit! (Le le -dari kata thole, anak laki-laki- kamu sekolah kok di pasar. Gurumu pedagang semua. Sedikit-sedikit uang, sedikit sedikit uang),” teriak mbak Puji pada Dio anaknya.

“Wingi mbayar uang gedung. Saiki ganti kon tuku susu! Kae, susumu sak kaleng kae kon nggaglak gurumu sisan wae! (kemarin bayar uang gedung. Sekarang disuruh membeli susu. Sana, susumu yang sekaleng itu suruh makan –bahasa kasar- gurumu saja),” lanjut mbak Puji.

“Lha gurune ndek ingi ngomong kudu nggowo susu Bonexxx –menyebut merk susu. Kabeh kon nggowo’ok. Sing ranggowo raetuk melu lomba. Raetuk hadiah (Kemarin guru mengatakan untuk membawa susu Bonexxx. Semua anak disuruh bawa. Yang tidak membawa tidak boleh ikut lomba. Tidak dapat hadiah),” tutur Dio. Mata anak kelas 2 Sekolah Dasar itu kadang mendelik, berkaca-kaca seperti hendak menangis.

Sambil menuding-nuding ke arah sekolah, mbak Puji berkata padaku. “Saiki lho, Bulik, bocah ngombe susune ora kui ning kudu nggowo susu kui. Po ra ndladuk? Yen ora ono isine, kerduse we rapopo. Wes kliling neng ndi-ndi raono. Nganti keklek sikilku mlaku neng ndi-ndi raono! Susu koyo ngono onone neng toko gede! (Anak tidak minum susu –merk- itu tapi diharuskan bawa susu itu. Apa tidak…-tidak ada terjemahan dalam Bahasa Indonesia? Kalau tidak ada isinya –susu, kerdusnya saja tidak apa-apa. Sudah kucari keliling kemana-mana tidak ada. Sampai capek kakiku mencari tidak ada. Susu merk itu adanya toko).”

Pada Dio, mbak Puji berkata lagi, “Sesuk yen kon muleh gurune mergo ranggowo susu Bonexxx, muleh! Raetuk hadiah, sesuk tak tukokke! (Besok kalau disuruh pulang oleh guru karena tidak membawa susu Bonexxx, pulang! Kalau tidak mendapat hadiah, besok kubelikan!).”

Mbak Yus, kakak iparku juga punya kisah sama, hanya merknya berbeda . Ocha, anaknya yang juga keponakanku setahun yang lalu diharuskan membawa susu merk tertentu. “Padahal Ocha yo ora ngombe susu xxxxxx kui. Mubeng-mubeng toko, etukke neng Tosuro kono (Padahal Ocha juga tidak minum susu xxxxxx itu. Putar-putar dari toko ke toko, dapatnya di Kartosuro sana).”

Aku jadi ingat ketika kumasih duduk di Sekolah Dasar. Beberapa kali aku pulang mendapat susu merk tertentu, atau juga multivitamin yang katanya membuat otak menjadi tokcer moncer! Bedanya, kami murid-murid tidak perlu membawa apapun untuk mendapatkan susu beberapa sachet atau sebotol multivitamin. Yap, tahu-tahu di sela waktu belajar, ada orang-orang berpakaian rapi, cantik-cantik dan ganteng-ganteng bagi-bagi susu!

Menurut mbak Yus, beberapa sekolah sekarang diajak kerjasama dengan perusahaan tertentu. Namun, langkah yang ditempuh guru kepada murid dianggap justru memberatkan wali murid. Bahkan seolah-olah membawa ‘barang dagangan’ ke sekolah menjadi wajib bagi murid. Dio, Ocha, anak-anak yang belum genap 8 tahun itu wajar risau, takut, apalagi jika hal itu dikatakan oleh seorang guru di sekolahnya.

Sekolah seharusnya punya posisi tawar kepada perusahaan ketika lembaga pendidikan dijadikan ‘pasar’ bagi produk perusahaan, sehingga tidak memberatkan murid dan walinya.