Nduk, Kamu Milih Agama Apa?

Bicara agama, tidak semua orang siap menerima perbedaan prinsip, ajaran, aturan, dan thethek bengek yang ada di dalamnya. Kadang, seakan-akan satu sama lain bertentangan, tak dapat menyatu, dan bahkan saling bermusuhan. Tengok saja berapa ratus kisah pertumpahan darah mengatasnamakan agama terjadi. Sampai hari ini aku tak habis pikir orang mau-maunya bergabung forum-forum pembela agama. Ah, masak segitunya sih Tuhan Yang memang Maha Segala-Galanya perlu dibela? Pakai kekerasan pula!

Agama yang kerapkali dijadikan topeng untuk berbuat kekerasan terhadap penganut lain itu bagi sebagian orang bak pelangi. Indah dan setiap orang berhak memilih warna yang ia suka. Tak perlu terlalu jauh kucerita siapa salah seorang yang mengatakan keindahan itu. Bapakku yang telah dijemput Sang Pengasih ke surga.

Saat masku nomer dua mengatakan akan pindah agama, bapakku yang penganut kepercayaan itu enteng berkata, ”Yo sakkarepmu arep milih agomo opo. Sing penting menungso marang liyan kudu rukun. Yen koe kresten, mbok’o neng grejo sedino ping songo nek ora rukun karo tonggo yo podho wae. Mbok’o koe eslam, mbok’o arep jengkang jengking sedino ping pitulikur yen koe seneng nglarani marang liyan, luweh becik ora sah melu agomo opo wae (Sesukamu mau memilih agama apa. Yang penting sebagai manusia harus rukun dengan sesama. Kalau kamu –memilih- Kristen, kalaupun ke gereja sehari sembilan kali jika tidak rukun dengan tetangga ya sama saja. Kalaupun kamu Muslim, mau sholat 27 kali sehari, kalau kamu suka menyakiti orang lain, lebih baik tidak usah menganut agama apapun).”
kamu suka milih agama apa (dari wikipedia)
Sikap keterbukaan Bapak pada pilihan anaknya mengenai agama membuatku merasa beruntung. Dan ’keberuntunganku’ ternyata juga dirasakan begitu ’dasyat’ oleh teman sekamar kosku, mbak Santi. Ibunya yang juga sudah almarhum pernah menanyainya begini.

”Iki diisi opo? Koe seneng milih agomo opo (Ini diisi apa? Kamu suka milih agama apa)?” Ibunya mbak Santi yang muslim taat itu menanyai gadis kecil berumur 6 tahun itu saat mengisi biodata untuk buku rapot.

Ketika gadis kecil kelas 1 SD itu memilih agama lain yang tidak dianut oleh bapak dan ibunya, sang ibu malah berpesan, ”Yoh. Ning kudu sregep sembayang neng grejo lho yo (Ya. Tetapi kamu harus rajin beribadah di Gereja ya).”

Kala itu, Santi kecil kerap diantar Bapaknya bersepeda ke Gereja. Terkadang kakak-kakaknya juga ikut mengantar anak bungsu ini ke tempat ibadah yang dipilihnya sendiri. Yap, sangat sering kujumpai kepercayaan yang dianut anak lebih sekedar ’ego’ orang tua pada anaknya ketimbang pilihan anak sendiri. Dari balik dinding rumah ibadah pernah kudengar, ”Orang tua wajib memaksa anaknya agar anak tetap seagama dengan orang tuanya. Jika tidak, orang tua pun akan masuk neraka.”

Melongok Kopiah Teuku Umar di Kota Rok Meulaboh yang Kekecilan

Masjid Raya Meulaboh (oleh Elisabeth Huwa) Bedak di tubuhku –bukan di wajahku karena bedak membuat wajahku seperti tertampar debu- telah meleleh dibawa butiran keringat yang mengalir di sela-sela baju. Sudah lebih dari satu setengah jam aku menunggu di warung kue. Mobil travel menuju Meulaboh, Aceh Barat, yang dipesan mbak Elis belum juga menjemput. Padahal Ida ‘kakak’ Wahidah yang berlangganan dengan bang Hasbi biasa menjemput jam tujuh pagi.

Mbak Elis yang juga resah di mess Lamprit akhirnya menelponku lagi. “Kita ke terminal wae, Nuk.” Dan tidak satu pun becak semliwer di jalan yang kulalui menuju mess. Tidak terlalu jauh, hanya 10 menitan berjalan kaki. Mbak Elis yang sudah di luar pagar menunggu becak menuju terminal yang satu lokasi dengan Pasar ‘Pajak’ Induk, Tapaktuan, Aceh Selatan. Lima ribu rupiah terlalu mahal, kata ibu kostku saat sepulangnya kucerita, menuju pajak.

Dorong yuk!
Di kota-kota besar kurasa rumput tak sanggup meneruskan hidup. Hendak hidup, pasang-pasang kaki tak merelakan sejengkal tanahpun untuk mereka hidup. Sangat beda dengan terminal Tapaktuan yang justru disesaki rumput-rumput liar. Dan kucingpun enggan singgah di sisi-sisi bangunan yang kosong mlompong tanpa peminat.

Bapak penunggu loket mengatakan, ”Sebentar lagi, Dik.” Tapi aku sudah sangat hafal, sebentar di sini bisa lebih dari setengah jam. Mobil L300 kami bayar Rp 50.000 per orang. Menaikkan menurunkan penumpang yang dikehendaki penumpang, laki-laki perempuan, tua muda silih berganti. Seorang anak sekitar 8 tahun bersama ayahnya melambaikan tangannya. Tak kuduga, seekor ayam jago kampung –mungkin akan disembelih- menjadi teman seperjalananku sampai Nagan Raya. Kursi yang kududuki dengan mbak Elis, persis di belakang supir, yang seharusnya hanya untuk 3 orang, sempat masuk 6 orang! Di belakang bangkuku tak jauh beda. Mata bola bening anak berusia belum genap dua tahun di belakangku berbicara senang, ”Terima kasih” saat ia kutawari kue yang kubeli di tempat kumenunggu travel. Kue yang tinggal 5 ludes diserbu tangan-tangan yang berbadan kelaparan. Kelak sampai Meulaboh, waktu normal 3 jam terlampau menjadi 5 jam.

Jalanan menanjak di kanan-kiri sawit makin membuat mobil hitam tua yang kutumpangi terseok-seok. Padahal penumpang tinggal tujuh orang. Tiba-tiba, ”Jjjjjjjjjjj…..jjjjjjjjjj….” Warung kopi yang hanya berdiri sendiri dekat masjid yang baru tahap renovasi menjadi tempat ampiran. Kulongok hpku, sudah lebih dari pukul 13. Pantaslah, perutku meraung-raung. Teh botol dingin dan kerupuk menjadi santapan nikmat di terik nan lapar. Beberapa kali mbak Elis bertanya, kira-kira berapa jauh lagi jarak menuju Simpang Empat. ”1 kilo lah.” Tapi ibu yang ketakutan pada kondisi mobil di sampingku berkata, ”Masih jauh!” dan rupanya ia yang benar.

Aku malah menuju masjid, numpang kencing. Saking hafal dengan kebersihan masjid-masjid di berbagai tempat, sebotol air mineral kubawa buat jaga-jaga. Aku benar lagi. Meskipun gaung kebersihan bagian dari iman sering kudengar, serta ditulis di berbagai lokasi –masjid, sekolah, kadang kantor pemerintahan, atau tempat umum- tetap saja kebersihan toilet tak terjamin. Busuk, pesing, kotor tak terkira. Saking busukku kulihat ada tinja menghitam yang tidak disiram! Sayang, kamera tak kupegang untuk mengabadikan toilet-toilet jorok itu. Mungkin kebiasaan hidup jorok itu pula yang membuat murid-murid SDN Kuala Ba’u serempak mengatakan, ”Tempat yang paling tidak saya sukai adalah WC sekolah karena kotor, sangat bau.”
ada dimana-mana

Dosen mata kuliah tasawufku dulu pernah berkata, ”Tingkat keimanan seseorang bisa diukur kok dari bersih tidaknya kamar mandi di rumah mereka.” Ruang paling privat itu juga menjadi penanda apakah seseorang menyayangi diri sendiri atau tidak. Panjangnya lagi, jika seseorang tidak bisa menyayangi dirinya sendiri mustahil bisa menyayangi orang lain.

Keringat abang sopir membanjiri baju kaosnya. Ia tidak berhasil menghidupkan mesin mobilnya. Si Ibu yang katanya Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera), istri si bapak tua memberinya saran untuk mobil didorong saja. Aku sendiri nggak ngerti mesin. Apa yang dikatakan suami istri pada sopir angkutan ini tak kutahu. Sarannya untuk mendorong mobil membuatku terperangah. Nanjak gini?! Batinku.

Enam perempuan dan satu lelaki yang kuperkirakan lebih dari 60 tahun, aku salah satu perempuan di situ. ”Satu dua tiga…..” lemas badanku hanya beberapa langkah mendorong barang tua ini. Elok diabadikan dalam layar kamera tapi sangat tidak elok mencederai perasaan orang lain, sehingga hal itu tidak ku atau mbak Elis lakukan.


Kopiah Teuku Umar kekecilan

Teuku Umar dari wikipedia Siapa yang tak kenal Teuku Umar ia akan dikutuki rakyat Aceh. Teuku Umar yang lahir di Meulaboh gugur di Meulaboh saat memimpin perang gerilya melawan pasukan Belanda. Di beberapa foto beliau yang pernah kulihat –juga di gambar pahlawan di kelasku waktuku SD tapi lupa di kelas yang mana waktu kukelas berapa- kopiah atau topi yang dikenakannya miring. Kopiah Teuku Umar itu begitu legendaris di Kota Rok ini.

Saking terkenalnya, sebuah monument untuk selalu mengingat Teuku Umar dibangun di pinggir pantai di Batu Putih. Bangunan itu baru, baru dibangun pasca tsunami. Bangunan aslinya tak ditemukan jejaknya akibat amukan dan hantaman air laut sehari setelah perayaan Natal 2004 itu. Kata duo Ida, bangunan aslinya lebih megah! “Yang ini lebih kecil, tidak sebagus bangunan lama.”

Topi Teuku Umar kekecilan (oleh Elisabeth Huwa)
Di sisi kanan arah pantai terdapat bangunan yang lebih mirip bangunan terminal. Satu ruangan mirip ruang tempat beli karcis serta tempat duduk mirip halte penumpang di pinggir-pinggir jalan. Ruang seperti tempat penjualan karcis itu tak jelas fungsinya, kondisinya pun sudah rusak pada atapnya. Sama tidak jelasnya dengan pembuatan pagar yang pintunya ditutup rapat sehingga pengunjung harus masuk melompati pagar seperti yang kami lakukan. Belasan kali kudengar duo Ida ini menggutuki pimpinan daerah mereka, Ramli MS.

Lembaga donor lupa dapur
Puluhan hektar lahan tak tergarap hanya ditumbuhi ilalang. Pada rawa-rawa, kangkung menjalar subur tanpa sentuhan tangan manusia. Barangkali makhluk berakal di sini juga tak sudi memanennya walau untuk ‘kawan nasi’ –istilah yang baru kudengar sejak kuberada di Aceh- saat sarapan atau makan siang sekalipun. Menurut Ida adik, pada beberapa lokasi yang ditunjukkan padaku, dulu sebelum tanggal 26 Desember 2004 sudah hampir tepat disebut pemukiman kumuh. “Pemukiman padat, Nuk. Kumuhlah, rumah berdempet-dempet. Semua habis! Jadi rawa sekarang. Orang tidak mau lagi tinggal di sini.”

Bekas-bekas semen padat rata di tanah, di sela-sela air berwarna hitam menandakan dulu pernah ada bangunan di atasnya. Rumah masa kecil Ida di Blower sudah berubah bentuk dari foto yang diperlihatkan padaku malam sebelum kami keluar lagi. Bangunan permanen berbentuk sama, dari depan tampak pintu di samping jendela kaca, di sisi kanan atau kirinya tembok dengan jendela kaca menjorok ke depan yang didalamnya adalah kamar, beratus jumlahnya. Aku yang orang kampung bosan melihat bangunan yang bentuknya tidak variatif. Rumah mamak bang Tapoen, Mak Chik pun juga sama bentuknya dengan deretan rumah-rumah tetangganya.

Rasan-rasanku pada Ida kakak, “Belum pernah sekalipun kutemukan rumah bantuan di Aceh yang dibangun sekalian dilengkapi dengan ruang dapur. Pasti orang yang diberi bantuan rumah harus menambah sendiri bangunan dapur. Apakah lembaga yang membantu, juga konsultan atau lembaga donor tidak menganggap penting dapur?” Mungkin saja orang-orang yang bekerja di lembaga implementator –LSM- atau lembaga donor dan konsultannya tidak pernah masak di dapur. Jika perut menuntut sgera diisi, tinggal melangkahkan kaki ke rumah makan saja.

Jagung dan kacang rebus pelabuhan. Kalau siang tidak dijaga (oleh Elisabeth Huwa)Daripada ngrasani LSM dan lembaga donor, mendingan makan jagung bakar yang dipesan mbak Elis. Belum juga habis jagung muda di tanganku, mbak Elis sudah ubek minta piring yang dipakai untuk tempat jagung. Mentari masih enggan pergi, tapi si ibu penjual jagung bakar tidak boleh menjemput rembulan dan lalu mengantarnya hingga tepat berada di atas kepalanya. “Kasihan ya, orang cari nafkah, jam segini sampai malam ramai-ramainya orang keluar malah nggak boleh jualan sampai malam,” kata mbak Elis.

Akal bulus dibulusi
Di berbagai sudut Kota Rok Meulaboh pada Sabtu dan atau Minggu malam tidak tidur. Temaram di sana sini. Bisa jadi untuk menambah suasana romantis sekitar pantai. Atau juga karena memang belum mampu memberi fasilitas penerangan.

Pelabuhan bangunan baru tampak kerlap-kerlip kehidupan kulihat dari jalan Yos Sudarso. Di beberapa titik jalan di Lhok Geudong pun orang bercakap-cakap menikmati debur ombak yang tak terlalu besar. Ida kakak yang memboncengkan mbak Elis, dan Ida ‘adik’ Raudah – duo Ida ini anak kembar umi- yang memboncengkan aku membawa aku dan mbak Elis ke arah pelabuhan. Pintu pagar seng terbelah dua ditutup satu. Di belakang pintu tertutup itu parker mobil bak terbuka. Spontan Ida kakak berkata, “Satpol PP. WH!”

Dua motor ngeloyor pergi tak jadi masuk pelabuhan. “Wah, kalau diajak foto mau nggak ya?” tanyaku pada Ida adik. Ia malah tertawa.

“Wah, senang tu mereka. Apalagi kalau kamu sempat bilang, ‘Salut buat abang-abang. Malam minggu di saat orang-orang berpacaran, libur, bersenang-senang, abang-abang ini malah bertugas mengabdi pada negara’,” ujar Ida kakak panjang lebar padaku dan mbak Elis. Kami tertawa mendengar ocehannya.

Pelabuhan adalah salah satu area para muda memadu kasih. Lantas, apakah dengan penjagaan Waliyatul Hisbah (WH) para muda nggak bisa bermesraan di pelabuhan? “Siapa bilang! Anak muda tuh panjang akal, Nuk. Tidak boleh berboncengan berpasangan, ya masuk ke pelabuhan cowok boncengan sama cowok, yang cewek sama cewek. Nanti sampai sana ya tinggal berpasang-pasangan. Banyak yang begitu tuh di sana,” tutur Ida kakak bersemangat.

Wew, akal bulus dibulusin tuh namanya, batinku. Raut mukaku menyembul senyum. Ya ya ya….

Ikan asin setipis Ninuk
Rencana sarapan pagi di tepi pantai tidak jadi kami lakukan. Mataku di hari libur merajuk. Pasang mata lain milik mbak Elis dan Ida kakak juga demikian. Mataku mengatup rapat lagi usai subuh, sekaligus sebagai alasan tidak tahu harus mengerjakan apa (atau ngapain) di rumah Ida yang juga malah balik tidur lagi. Rasa ”Nggak enak kalau bangun siang, dikubur dalam-dalam. Ida kakak menghendaki kami tidur di rumahnya –jika ”Umi tidak mencoretmu dari daftar hak waris,” serta mengancam kami, ”Jalanlah sendiri kalau nginap di hotel, nggak mau kami antar kemana-mana,” membuat mbak Elis bergidik. Yah lumayan bisa lebih irit Rp 150.000 untuk sewa kamar hotel dengan tarif termurah. Rumah Ida tidak jauh dari ’mana-mana’ yang aku dan mbak Elis inginkan untuk berlibur, juga pantai…

Tidak salah jika duo Ida mengajak kami ke pinggir pantai Suak Ribee di Cafe Teratak Tua hampir tengah hari. Panas tapi semilir. ”Andai tadi bawa bantal,” kataku. Kulitku terasa terbakar ketika jaket kulepas. Bimbang. Tidak dilepas gerah, dilepas membakar. Tapi bukan berarti aku takut kulitku makin menghitam, ”Bukankah kulit hitam terbakar itu eksotik?”

Pondok paling ujung kami pilih sembari menunggu bola-bola kelapa muda murni. Murni karena tanpa ditambah gula, asam –yang ternyata jeruk diiris tipis-, juga es batu. Bang Tapoen, bersama kak Meri dan si ganteng Akbar datang belakangan. Ajakanku kemarin sore lewat pesan-pesan pendek ke bang Tapoen meleset. Kami batal makan empek-empek yang menjadi langganan Ida dan kami teman-temannya yang sangat suka menitip atau dikirimi makanan asal Palembang itu.

Mbak Elis, Ida kakak adik, dan aku tak melewatkan teriknya siang untuk tetap menghibur diri lewat jepretan kamera. Apapun gayanya asalkan bisa pamer bahwa liburan kali ini tak hanya golek-golek di atas ranjang.
Biar terik tetap asik (oleh Elisabeth Huwa)

Tamu tak diundang datang yang hanya padaku membuatku jengah. Tak ada s’erep di tas kecilku. Kebetulan Ida harus menunaikan ibadah. Rumah Mak Cik kami singgahi lagi. Kelak sampai di sana, Ida kakak malah tidur. Walau akhirnya terbangun saat cacing-cacing di perutnya belingsatan kelaparan. Ikan asin yang bergantungan di ujung jalan Yos Sudarso yang kami lewati saat mencari makan siang membuat lidahku juga ikut belingsatan.

Besar-besar!!!! Batinku berdecak kagum, betapa kayanya negeriku. Ikan sebesar-besar tubuhku dibelah tipis menjadi ikan asin. Tapi aku dan mbak Elis ngeri membeli yang paling besar. Ngeri menghabiskannya jika kami beli! ’Hanya’ ikan sebesar pahaku belah dua yang kami timbang. Satu kilo seharga Rp. 50 ribu, dan masih boleh kurang lima ribu setelah ditawar. “Sekarang sedang mahal Kak karena sedang tidak musim.”

Mbak Elis rupanya juga ingin berbagi goyang lidah ikan asin Indrapuri pada keluarganya di Jawa Timur sana. Ditanyainya sang penjual tentang teknik bungkus membungkus agar tidak terlalu bau. “Bisa lah Kak. Kalau nggak bisa membungkus, kami nggak bisa ekspor ke Singapura sampai Abu Dhabi,” katanya bangga. Hebatnya nelayanku! Aku pun bangga walau tak kunampakkan padanya.

Setipis Ninuk (oleh Elisabeth Huwa)
Ikan asin Indrapuri atau yang lebih dikenal ikan asin Blower sudah diterbangkan sampai mancanegara. Selain negara-negara Arab juga ke Eropa. Ikan Talang, Kakap Merah, Kakap Putih, Kakap Hitam, dan berbagai jenis ikan lain diolah dengan garam dapur, lalu dijemur di teriknya matahari pantai.

Ayam penyet –yang kata dua Ida paling enak di Kota Rok, tapi lebih enak di Solo dan Jogja kata mbak Elis- milik Robby lahap di mulut-mulut yang merasakan enak hanya belasan sentimeter. Pada arah depan warung makan milik Robby dan tetangga-tetangganya, pemandangan tidak elok dipandang mata. Para penikmat ayam penyet disuguhi sampah di pinggir jalan di tepi taman kota yang dikelilingi selokan (parit).

Taman kota yang tak sedang dipandang mata. "Kalau hujan, banjir di sini," kata Ida adik (oleh Elisabeth Huwa)

Kesedihan telah berlalu
Kesunyian tiba-tiba merasuk ke dalam kalbu. Sekiranya aku salah satu dari mereka, aku akan abadi di sana tanpa seorang pun bagian darahku mengetahui dimana tepatnya ragaku berada.

”Masuk saja. Nggak dikunci. Kamipun sudah malas masuk ke sana,” ujar seorang bapak pada kami ketika Ida bertanya boleh masuk atau tidak. Serombongan orang di atas truk bak belakang bersorak, ”Kuburan massal tsunami…. kuburan massal tsunami.” Sebagian pandangan mata menatap sinis. Seorang berkata, ”Ngapa orang mau ke situ,” dengan logat Aceh yang kental.

Di sini nama kami hanya satu "Korban Tsunami" (oleh Elisabeth Huwa)

tidak disebutkan berapa jumlah korban yang dikuburkan di sini (foto oleh Elisabeth Huwa)
Hanya rumput-rumput yang mulai beranjak menggapai matahari yang sudi menemani raga-raga yang hanya bernama ’korban tsunami’! Tidak jelas berapa ratus atau ribu raga tanpa nyawa dikubur di kuburan massal tsunami itu. Pada saat-saat tertentu, satu per satu orang yang merasa kehilangan sanak saudaranya terpukur menunduk memanjatkan doa di sana. Ya, sekalipun belum tentu nama yang disebut dalam doanya terbujur di dalam bangunan bercat putih itu.

Dua Ida yang asli Meulaboh pun baru kali pertama masuk bersama kami. ”Aku masih sulit melupakan peristiwa yang hampir merenggut nyawaku,” kata Ida kakak yang sempat berjam-jam terombang-ambing di tengah laut saat tsunami menggulung ratusan ribu nyawa.

Tempat abadi yang sepi, sesepi batang pohon yang teronggok mati di pinggir pantai Ujung Karang tak jauh dari bangunan ini. Barangkali ia juga sangat bersedih ketika ratusan bangunan dan orang-orang yang ada di dalamnya, juga puluhan polisi yang hendak meresmikan bangunan asrama militer Gajah Putih tak mampu dilindunginya seorang diri. Kesedihan nyata ada saat jiwa orang-orang tercinta direnggut tanpa kita bisa merawat sebagaimana lazimnya. Ya, aku hanya berserah kepadaMu.

Masjid Raya Meulaboh atau Masjid Raya Bank BPD
Niatku berfoto dengan WH Meulaboh tak kesampaian. Jalan Gajah Mada menuju arah Kantor Bupati tidak dijaga WH. Kata Ida adik, ”Jangan lewat jalan itu di jam pagi sampai sore kalau nggak pakai rok! Bakal disuruh berhenti, tanda tangan, diceramahi ini itu.” Meski begitu, Ida adik tak pernah jera ’kena tangkap’ karena tidak memakai rok. Lah, bukannya dalam Peraturan Bupati Aceh Barat Nomer 5 Tahun 2010 Tentang Penegakan Syari’at Islam Dalam Pemakaian Busana Islami tidak secara gamblang disebutkan tentang pemakaian rok?

”Siapa bilang? Mau pakai celana longgar, celana jeans tetap saja kena, Nuk! Pokoknya yang nggak pake rok bakal kena! Aku kan olahraga tiap pagi. Waktu tu Umi minta dibeliin buah. Yang paling dekat di jalan Gajah Mada. Lewatlah aku. E, ditangkap! Sampai kutanya, apa iya aku olahraga harus pakai rok? Dimana otak kalian! Harus kulepas celanaku sekarang? Tapi WH tetap bersikukuh aku salah karena pakai celana training.” Beruntunglah aku yang tidak memakai rok sedang tak ada razia rok. Jika toh aku ’kena’ juga, sudah kupikirkan masak-masak aku akan lepas celanaku.

’Area rok’ juga meliputi masjid. Masjid Raya Meulaboh yang dekat dengan rumah duo Ida di Gampong Sineubok sangat megah. Bangunan ala Timur Tengah itu pada gapura pagar masuk tengah dibangun. Sama megahnya. Duo Ida, terutama Ida adik, tak mau ketinggalan untuk bergaya di layar kamera. “Aku belum pernah berfoto di sini.”

Aku belum pernah difoto di sini, kata Ida adik (foto oleh elisabeth huwa)

"Mbak Elis, aku juga mau difoto," kata Ida kakak

Jadi, bangunan masjid ini Masjid Raya Meulaboh atau Masjid Raya Bank BPD? “Itulah bodohnya. Masak bangunan masjid ada logo Bank BPD. Katanya untuk bukti kalau uangnya memang untuk membantu pembangunan masjid. Bukti kan nggak harus berujud bangunan logo begitu,” Ida adik sewot.

Di sisi kanan kiri gerbang masjid ada logo BPD (foto oleh elisabeth huwa)
Bupati Ramli MS pernah menyampaikan tentang logo Bank BPD di pintu pagar Masjid Raya Meulaboh sebagai bentuk pertanggungjawaban ke Bank Indonesia. Setelah dipertanggungjawabkan, logo Bank BPD katanya akan dicabut. Memang BPD kasih bantuan berapa rupiah? “Rp 1 Milyar,” kata Ida adik. Ooo, tapi kapan pencabutannya ya?

Aceh Selatan Bangkrut, Mau tutup?

“Mana periksa, Nuk, idak ada dokter yang periksa. Mereka masih mogok. Entah sampai kapan!” tutur ibu Mus yang rumahnya biasa kulewati tiap berangkat dan pulang dari kantor. Ia mengaku sakit perut, muntah-muntah saat kusapa pagi tadi. Aku hanya bertanya padanya apakah beliau sudah periksa ke rumah sakit.
Sejak Senin (3/1) lalu, para dokter spesialis berstatus PNS di Rumah Sakit Umum Daerah Yuliddin Away Tapaktuan, memang mogok kerja. Mereka, salah satunya dokter spesialis penyakit dalam, dr Jun Sp Pd yang menjadi langgananku dan teman-temanku saat sakit, melakukan aksi protes menolak kebijakan Tim Anggaran Pemerintah Daerah dan Tim Anggaran DPRK yang memotong anggaran rumah sakit sampai 50%. Selain itu, intensif para dokter ini dalam Anggaran Pendapatan Belanja Kabupaten (APBK) 2011 juga dipotong dari sebelumnya Rp 17 juta/bulan kini menjadi Rp 8 juta/bulannya.

pesan pendek dokter Jun


Banyak kalangan, termasuk bapak kosku, Pak Ali yang bekas pegawai PLN Tapaktuan mengatakan bahwa APBK Aceh Selatan 2011 tidak pro rakyat. ”Tidak punya hati tu mereka (Tim Anggaran Pemerintah Daerah dan Tim Anggaran DPRK). Orang ke rumah sakit kan karena sakit. Lebih banyak orang miskin di sini. Anggaran rumah sakit dipotong habis-habisan, tidak memikirkan rakyat mereka tuh,” ujarnya semalam kesal.

Aku kena marah! Apa pula ini?!
Aceh Selatan yang kotanya tak terlalu besar –sesepi-sepinya dusun di Wonogiri tempat masku sepupu yang dokter bekerja, masih ramai di sana dibanding Tapaktuan- masih sakit seperti tubuhku yang terlanjur suak. Konflik yang pernah terjadi di sini terus menggerogoti sendi-sendi kehidupan warganya, juga perpolitikan maupun birokrasi. Ketidakwarasan akibat konflik tak hanya diderita oleh sebagian warga yang tidak kuat dengan tindak kekerasan, tetapi juga para pemangku kebijakan.

Awal minggu lalu, ketika kubertandang lagi ke salah satu dinas di Kota Naga ini, aku dan Didik malah kena damprat. Padahal baik-baik kami tanyai rencana dinas –sebagai pengemban amanat Undang-Undang, terhadap pembinaan kaum muda. Jika toh dinas membutuhkan bantuan, kamipun bersedia membantu. Tetapi ia malah mengumpat penuh emosi.

”Jangan ngecat langit lah! Pokoknya kami digaji untuk kerja di kantor! Kalau menjalankan program di lapangan kami perlu anggaran! Nah anggarannya nggak disetujui! Jadi nggak perlu tanya-tanya lagi soal rencana ke depan! Asal kalian tahu saja, Aceh Selatan sudah bangkrut! Sebentar lagi tutup!”

Dari warta-warta yang kubaca, alokasi anggaran yang disusun memang tidak memihak pada sektor meningkatkan pelayanan pada rakyat. Perbandingannya 60 persen untuk biaya aparatur dan 40 persen pelayanan publik. Paling mencolok ya pemangkasan anggaran untuk kesehatan dan pendidikan. Di banyak tempat kudengar kemarahan. “Keuangan daerah katanya minim, tapi biaya pembelian mobil fraksi DPRK dan mobil beberapa SKPD masih dianggarkan!”

Demonstrasi kecil-kecilan –karena jumlah polisi tidak sebanding dengan para pendemo- di kota bekas penghasil pala ini bergulir dari hari kehari. Dari media juga kubaca, para aktivis juga berunjukrasa di Banda Aceh. Di depan para aktivis asal Aceh Selatan, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf akhirnya mengatakan sepakat merevisi ulang APBK 2011 Kabupaten Aceh Selatan yang telah disahkan lembaga legislatif akhir tahun lalu.

Aceh selatan tutup…. Jika sakitnya sang kepala sudah terlalu akut, apakah masih terasakan seluruh tubuh jika para kaki-kaki tertancap paku?

Ninuk Takana jo Kampuang

Takana jo kampuang…
Induak, ayah, adik sadoyo
Raso maimbau-imbau denai pulang
Den takana jo kampuang

Tanggal 28 bulan ini terasa lama. Hari bergitu lambat. Bukan karena gaji bulan kemarin diberikan lebih cepat dari biasanya, seperti yang dirasakan beberapa temanku, atau juga mengunggu gaji lagi bulan ini. Langkahkah kakiku serasa terbang ringan menapak jalan pulang kampung untuk –sekedar- berlibur. Melepas sejenak rindu yang kadang terlanjur berkarat. “Ah, kan belum lama juga kamu pulang,” kata seorang teman lewat telpon. Benar juga kata dia, aku pulang lebaran Idul Fitri lalu. Belum terlalu lama jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, yang kuhendak pulang harus kusisihkan uang selama 12 bulan.
Stasiun Purwosari, hanya 10 menit dari rumahku
Rasa sama selalu datang ketika hari berlibur yang kutentukan mendekat. Senang tapi terasa sangat lama menunggunya. Memasuki bulan Januari, sudah puluhan kali kuputar lagu itu. Tidak saja di kantor, juga di rumah. Kalaupun tanpa musiknya, mulutku tak bisa diam mendendangkannya. Sampai-sampai tadi pagi tanpa disadari, si Tia tetangga kosku pun ikut mendengang. ”Kampuang nan jauah di mato….den takana jo kampuang…

Semangat Nuk! Solo menanti!