PEREMPUAN-PEREMPUAN DAERAH (YANG DICAP) HITAM

”Mereka semua laki-laki. Mereka itu tentara. Mereka bawa senjata. Seharusnya mereka melindungi kami dari rasa takut, bukan malah menyiksa kami. Kalau saya pribadi, meskipun saat itu usia saya masih kecil, lebih baik saya mati disiksa daripada telanjang di depan mereka”

Ingatan yang masih segar
Konflik selalu menyisakan kisah-kisah memilukan. Tidak jarang perlakuan memalukan pun dilakukan untuk merendahkan martabat sesama manusia, terlebih pada makhluk bernama perempuan. Masih jelas dalam ingatan Nur, pemudi Desa Silolo, Kecamatan Pasie Raja, Kabupaten Aceh Selatan akan peristiwa antara tahun 2003-2004 lalu. Saat itu, ia masih siswi SMP kelas 2. Bersama para inong (perempuan) di desanya, ia diminta berkumpul di satu tempat.

”Setelah dikumpulkan, kami dipaksa melepas pakaian kami. Saat ibu saya menolak, kepalanya dipukul keras-keras. Saya pun ikut dipukul karena menolong ibu saya,” katanya seraya ’mempraktekkan’ cara orang-orang yang memukul ibunya itu. Berkali-kali disekanya air yang mengalir di kiri kanan hidungnya, juga pipi kanan kirinya dengan ujung kerudung yang dipakainya.

Sesaat Nur diam. Matanya menerawang menembus dinding kayu rumahnya. Entah apa yang dipikirkan dalam diamnya. Lalu ia bercerita lagi. Saat itu, kata Nur, beberapa ibu sampai kencing berdiri karena ketakutan. Ada yang pasrah melepas bajunya sendiri karena takut dipukul.

”Tapi semua itu justru membuat orang-orang yang menyiksa kami tertawa terbahak-bahak. Mereka semua laki-laki. Mereka itu tentara. Mereka bawa senjata. Seharusnya mereka melindungi kami dari rasa takut, bukan malah menyiksa kami. Kalau saya pribadi, meskipun saat itu usia saya masih kecil, lebih baik saya mati disiksa daripada telanjang di depan mereka,” ujar gadis lulusan SMP ini parau.

Bersama warga desa Silolo, ia akhirnya memilih mengungsi ke Terbangan dan lalu pindah ke tempat pengungsian di Lhok Bengkoang, Tapaktuan. ”Ketimbang diperlakukan semena-mena saat tinggal di desa, lebih baik mencari tempat yang kami rasa lebih aman.”

Merendam
Praktek kekerasan lain acapkali dilakukan jika pertanyaan tidak menghasilkan jawaban memuaskan bagi pihak penanya. Tika, perempuan Batak yang bersuamikan pria Aceh Selatan bersama tiga perempuan desanya, desa Lhok Sialang Rayeuk, pernah merasakan tamparan di wajahnya. Gara-garanya, jawaban yang mereka berikan tidak memuaskan aparat keamanan yang menanyainya.

”Saya dan tetangga saya hendak ke kebun saat ketemu orang-orang itu. Mereka bertanya apakah kami bertemu dua orang laki-laki berseragam hijau bawa senjata. Orang gunung maksudnya. Waktu kami mengatakan tidak, saya langsung ditampar bersama dua tetangga saya. Seorang lagi dipukul juga saat mengatakan tidak ketemu orang berseragam,” kisah ibu tiga orang anak ini.

Kisah seperti ini juga dikemukakan oleh Linda dari desa Panton Luas. Aparat kerap memukul, menendang, atau Linda menyebutnya, “Sesuka hati aparat” pada warga jika mereka tidak mendapat jawaban yang memuaskan.

Sementara pada para lelaki, hampir setiap hari, aparat di pos jaga memanggil beberapa laki-laki datang ke pos jaga. Setelah sampai di sana, para lelaki tersebut direndam berjam-jam tanpa ada penyebabnya. Pengalaman semacam ini dikisahkan di beberapa desa. Terkadang, seperti kisah Tika, Linda, atau Nur, merendam masyarakat di sungai, parit atau kubangan kerbau menjadi salah satu hiburan bagi aparat TNI. Sebab, setelah para lelaki tersebut berendam, aparat-aparat di pos jaga tertawa-tawa seperti melihat lelucon. Siksaan berendam, kata Linda, sudah menjadi makanan sehari-hari bagi masyarakat.

Hukuman rendam merendam juga bukan hanya ditujukan pada kaum Adam, tetapi juga para kaum Hawa. Inong-inong (perempuan-perempuan) desa tetangga Lhok Sialang Rayeuk, desa Ie Merah misalnya. ”Kalau orang itu bertanya dan kami jawab tidak tahu, kami pasti akan dihukum. Macam-macam hukumannya, dari dipukul, ditampar, atau juga direndam. Dua kali saya direndam di parit karena menjawab tidak tahu. Ya mau jawab apa kalau saya memang tidak tahu ditanyakan orang itu,” kisah Laila yang kini aktif dalam kegiatan pemudi di desanya, Ie Merah.

Seperti Tika, Nur, dan Laila, perempuan-perempuan dari desa-desa dianggap sebagai daerah merah atau acap disebut desa basis GAM, kerap menerima perlakukan kekerasan dari pihak aparat keamanan. Perlakuan ’lebih’ keras kerap ditujukan pada warga yang salah satu atau beberapa orang anggota keluarganya menjadi bagian dari ’orang gunung’.

”Bapak pernah dipukuli di depan mata saya. Mereka bilang pada saya, ’Inilah hukuman bagi orangtua yang kasih ijin anaknya jadi anggota’. Setelah puas memukuli suami saya, mereka obrak-abrik rumah saya. Tahu saya punya beras, mereka suruh saya masak. Saya juga dipaksa sembelih ayam. Setelah makan selesai, baru mereka pergi,” ungkap Midar, perempuan berusia sekitar 60 tahun, dari desa Malaka, Kluet Tengah.

Pengakuan yang sama juga diungkapkan oleh perempuan-perempuan dari Desa Silolo, Ie Merah, Panton Luas, Jambur Papan, Pulo Kambing, Malaka, Krueng Kluet, serta Kampung Paya di Kabupaten Aceh Selatan.

Orang menyebut gila
Peristiwa penyiksaan pada Iwadi masih teringat jelas dalam ingatan Tika. Saat itu, laki-laki berusia lebih dari 40 tahun itu, ujar Tika, ditendang, dipukuli, lalu ditembak kakinya. ”Saya tidak mau membayangkan lagi peristiwa saat itu. Miris, sedih untuk mengingatnya.” Laki-laki itu, kata Tika, kini tidak bisa berjalan akibat penganiayaan tersebut. Menurut Tika, tidak juga ada upaya pengobatan dari aparat TNI sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kekerasan yang dilakukan semasa konflik.

Beberapa lelaki, termasuk -mantan- geucik desa Lhok Sialang Rayeuk, hingga kini sering merasakan sakit di ulu hati. ”Dulu beberapa kali saya kena tinju di sini. Pernah juga dipopor senjata,” kata laki-laki yang bulan Februari lalu telah pensiun dari jabatan kepala desa ini. Lelaki lain, Majid sering merasakan sakit kepala, telinga berdengung hingga merasakan sakit yang amat di telinga. Sedikit berbeda dengan pak Geuchik, Majid ditinju di bagian kepala.

Selain cacat dan gangguan kesehatan tubuh, beberapa warga desa Lhok Sialang Rayeuk juga mengalami gangguan kejiwaan pasca konflik. Gangguan kejiwaan tersebut dialami pemuda hingga manula. Mertua Tika yang kini telah manula hingga sekarang sering mengatakan padanya bahwa dia sangat ketakutan dan jantungnya berdebar-debar. ”Ibu mertua saya pernah dibawa berobat, tetapi tidak sembuh. Ia juga kerap berbicara melantur dan bicara sendiri.”

Masih di desa yang sama, seorang pemuda bernama Khalidi hingga kini hilang ingatan. ”Kata mereka, ’Gila, berbicara sendiri’,” cerita Tika. Khalidi hingga kini tidak berkeluarga atau menikah. Menurut Tika dan beberapa perempuan, aparat TNI pernah menembak kaki Khalidi. Saat itu, Khalidi sedang mengaji di meunasah. Dia oleh aparat TNI dikira anggota GAM. Para perempuan desa tersebut menjelaskan, sebelum “stress”, Khalidi seorang yang alim, pendiam dan suka mengaji. Setelah konflik, oleh orangtua, Khalidi diobati ke beberapa dukun tetapi tidak sembuh. Namun, sekarang tidak lagi dibawa berobat karena tidak memiliki uang untuk membiayainya.

Gangguan kejiwaan yang orang desa sering menyebutnya sebagai gila juga dialami seorang perempuan di desa Silolo. ”Orang itu gila kak, kenapa diajak ngobrol?” tanya Mini, seorang gadis dari Silolo saat tahu saya tengah berbincang dengan seorang perempuan. Pantas, ia lupa pada namanya sendiri, batin saya.

Menurut Mini, Ros, perempuan yang tidak ingat dengan namanya sendiri itu menjadi gila, sering bicara dan tertawa sendiri setelah konflik terjadi. ”Hartanya hilang dicuri orang. Keluarganya ada yang terbunuh.”

Trauma konflik lain mengakibatkan beberapa perempuan menjadi sangat latah. Perempuan-perempuan ini jika mendengar sesuatu yang mengagetkannya, dia akan berkata-kata tidak karuan. ”Dulu dia mendengar suara tembakan yang amat dekat dengannya. Saat mendengar suara tembakan tersebut, perempuan tersebut tercebur di kolam ikan. Sampai sekarang orang itu jadi latah sekali,” ungkap Mini.

Laki-laki lari
Dalam situasi konflik, perempuan kerap menjadi ujung tombak dalam kegiatan perekonomian atau sekedar mengisi periuk untuk anggota keluarga. Demikian pula yang dilakukan Ainun, Tika, Nur, Laila dan banyak perempuan desa lainnya di wilayah Aceh Selatan. Situasi mencekam mengajari para ibu dan para gadis lebih kuat bertahan.

Iyak perempuan desa Malaka menyebut, setiap pasukan tentara RI dikabarkan akan masuk ke desanya, geuchik atau perangkat desa lainnya secepatnya mengumumkan semua laki-laki meninggalkan rumah. Perlengkapan mengungsi berupa beras, panci alat masak, kopi, plastik, serta kain telah dipersiapkan sejak konflik terjadi.

”Di setiap rumah, perlengkapan itu diletakkan di dekat pintu. Jadi sewaktu-waktu tinggal angkut saja. Kami perempuan dan anak-anak ditinggal di rumah. Suami saya bersama laki-laki lain yang bisa berlari secepatnya lari ke gunung,” kata ibu lima orang anak ini.

Perempuan, anak-anak, dan para manula biasanya akan tinggal di rumah, atau berkumpul bersama tetangga, atau juga mengungsi di masjid. ”Kami merasa lebih aman mengungsi di masjid. Kalau pun mau dipukul, ditembak atau bahkan mati sekalipun, kami ada di rumah Allah,” ujar Iyak.

Menurut Iyak, pada umumnya kaum lelaki lari saat pasukan tentara masuk desa karena menghindari aksi tindak kekerasan oleh tentara. Mereka, kata Iyak, sering menyangka dan menuduh warga sipil laki-laki yang tengah berada di rumah adalah anggota GAM yang sedang menengok keluarga. ”Sudah banyak pengalaman begitu. Tiba-tiba suami atau anaknya dibawa, lantas dipukul dan bahkan ditembak mati.”

Diakui Murni bahwa remaja, pemuda, atau bahkan bapak-bapak akhirnya lari ikut ‘orang gunung’ karena tidak tahan disiksa. Perempuan dari desa Panton Luas itu mengungkapkan, banyak anak remaja laki-laki memilih meninggalkan bangku sekolah dan kemudian menjadi anggota GAM. “Sekolah libur. Tinggal di rumah sendiri tidak aman. Anak-anak sekecil itu ikut-ikutan dipukul kalau ada operasi. Makanya lari ke gunung jadi orang gunung.”

Ketua pemuda desa Jambur Papan Udin mengakui hal yang diungkapkan Murni. Ia masih SMP kelas tiga saat ikut para lelaki di desanya mengungsi ke gunung. Saat di gunung, mereka bertemu dengan beberapa kawan tetangga desanya yang telah menjadi kombatan.

“Saya ikut mereka karena kesadaran sendiri dan sama sekali tidak dipaksa. Toh sekolah saya diliburkan entah sampai kapan. Sementara untuk tinggal di desa saya tidak mau lagi. Saya pernah ditinju berkali-kali oleh orang-orang itu-TNI. Lebih baik saya lari mengungsi ke gunung dan jadi orang gunung,” kata bujangan ini.

Lalu ia pun resmi menjadi kombatan dan dilatih berbagai ketrampilan perang. Dua tahun ia menjadi gunung, sebelum akhirnya turun dan langsung mencari anggota keluarganya di pengungsian. ”Tidak enak juga jadi orang gunung. Selalu was-was memikirkan keluarga yang masih tinggal di desa. Tidak bisa membela jika keluarga dipukuli atau disiksa. Perasaan selalu tidak enak,” tambah lelaki yang sangat gemar bermain sepak bola ini.

Anggota kombatan yang sekarang aktif sebagai anggota Komisi Peralihan Aceh, Abi dari desa Krueng Kluet juga mengalami hal yang sama. Ia memilih ikut angkat senjata karena tidak tahan mendapat siksa manakala masih tinggal di desa bersama keluarganya. Saat menjadi kombatan, bersama kawan-kawannya ia sering memberi informasi ke warga desa bahwa ada pasukan TNI – Polri masuk dari wilayah Kota Fajar, Kluet Utara. Tak jarang ia juga menyuruh warga mengungsi ke arah Menggamat, Kluet Tengah.

”Kami tidak tega mendengar masyakat disiksa begitu. Gara-gara kami, masyarakat tewas. Makanya kami tarik usulan agar masyarakat mengungsi,” kata lelaki yang tidak tamat SMP ini. Kata dia, dalam setiap kontak senjata masyarakat kerap menjadi sasaran dan korban.

”Mengapa para pria mengungsi? Dulu pengalaman saya, saya sedang di rumah saat ada kontak senjata di desa Kampung Tinggi. Kemudian pasukan tentara mencari orang gunung yang terpecah-pecah hingga desa kami. Karena saya di rumah, saya diambil, dipukuli, dinjak-injak.” Kampung Tinggi seperti kata Abi merupakan desa tetangga desanya.

Abi juga mengisahkan, ”Ada juga tetangga kami yang tewas disiksa hingga mati. Dia agak berewok. Tentara mengira dia panglima GAM. Habis. Disiksa sampai tewas di tempat. Setiap ada masyarakat yang mati, apalagi wajahnya berewok, nanti yang masuk koran disebutkan Panglima GAM tewas. Padahal mereka hanya masyarakat biasa,” ungkap bapak satu anak ini.

Sebagai mantan kombatan ia mengaku salah, terutama pada masyarakat. Namun, hingga kini ia mengaku tidak rela masyarakat menjadi korban. “Jelas yang kami kerjakan itu salah. Tetapi untuk apa sama masyarakat dia balas. Keadilan tidak ada makanya kami memberontak.”

Baik Udin maupun Abi mengaku lebih bahagia dan tenang dengan kondisi sekarang. ”Konflik telah berakhir. Kami berharap perdamaian terus berjalan dan saling dijaga. Jangan sampai ada kontak senjata lagi sebab yang sangat disengsarakan adalah masyarakat biasa,” kata Udin.

Abi pun berharap sama, generasi penerus bangsa hidup dalam suasana damai. ”Biarlah anak-anak belajar dengan tenang. Tidak seperti kami yang terpaksa putus sekolah karena ikut perang. Di pundak mereka masa depan Aceh saya yakin akan cerah jika tidak ada lagi kekerasan,” ujar Abi mantap seraya mengeleng-gelengkan kepala pada anak lelakinya yang baru berusia 13 bulan.

Ninuk Setya Utami
Information and Advocacy Officer Youth Project, Jesuit Refugee Service Indonesia
Baca entri selengkapnya »

cempe

Mbekkkkkkk….Mbekkkkkk….

Suara makhluk yang kerap disebut orang Jawa sebagai cempe itu merasuk hingga ke ulu hati. Ohya, cara baca cempe begini. ‘e’ dalam suku kata cem seperti kala lidahmu mengatakan cepat, pemuda. Sedangkan pe cara bacanya seperti enak, desa. Ia terus berteriak kebingungan. Aku, tentu saja tak tahu yang mana induknya. Jika cempe-cempe mulai memberanikan diri bermain menjauh, gaduhnya menghunjam telingaku saat ia panic kehilangan induknya.

Sesekali suara Didik yang sedang berbicara dengan Yitra dan aku, menghilang dari pendengaranku. Ini bukan kali pertama tiba-tiba hilang konsentrasiku ketika suara-suara cempe mencari induknya itu meraung-raung. Waktu lalu, saking buyar otakku aku pergi ke jalan. Siapa tahu aku melihat sosok kambing dewasa yang kukira induknya. Tak tega rasanya mendengar cempe-cempe itu menangis. Tak kutemukan. Juga akhirnya aku tak tahu bagaimana cempe berkulit coklat itu bersua kembali dengan induk dan saudara kandungnya.

Inipun tidak terlalu penting untuk kuulas lebih jauh. Hanya saja, pikiranku kini melayang ke anak-anak yang dibuang orangtuanya karena memang tidak diinginkan. Apakah mereka juga merasakan hal yang sama dengan cempe-cempe, yang mungkin karena ‘kenakalannya’ sendiri berpisah dengan induknya?

Akh, aku jadi ingat anak Ambar yang terpaksa diberikannya pada orang yang tidak pernah dikenalnya. Anak-anak yang dilahirkan mbak Ning tetanggaku. Kabar yang kudengar, setelah dilahirkan, mbak Ning kembali menjual anaknya. Anak ketujuh. Anak-anak itu tidak pernah tahu asal-usulnya…

Siang usai makan siang, 13.34

30 Maret 2010

Baca entri selengkapnya »

Pantai Panjang Pada Nyepi Pagi

Kene udan. Piye (Di sini hujan. Bagaimana)?” begitu tulis pak Dar di layar hpku.

Ya, pagi tadi memang hujan sempat mengguyur Tapaktuan, Aceh Selatan. Aku sadar kalau hujan turun saat kubuka jendela kamarku. Gemericiknya tak begitu kentara, tersamar oleh gesekan daun-daun mangga yang tersapu angin usai subuh.

Ida sudah siap ternyata, bahkan ketika aku belum cuci muka sekalipun. Wangi sabun yang masih lekat ditubuhnya sempat tercium hidungku saat kami berpapasan di ruang tengah.

Kusms kak Mar, jawabnya, ”Di Gunung Durian hujan grimis. G tau ya di Air Pinang.” Tak berapa lama, pak Dar sms lagi, “Tunggu yo, dijemput.” Benar, hanya selang beberapa menit pak Jono sudah di depan mess putri Lhok Keutapang. Bersama pak Jono, kak Fatma, dan Ida, kami berangkat ke mess cowok, Jambo Apha.

– –

Jam entah di hp siapa yang terletak di meja mess putra menunjukkan pukul 7.20 menit Diantar Pak Jono, driver sekaligus pemilik travel, aku, pak Dar, mas Windi, mas Isur, kak Fatma, Ida, kak Mar, dan si anak muda Oey meluncur dari Tapaktuan menuju Terbangan. Waktu menuju Terbangan dari Tapaktuan tidak lebih dari setengah jam.

“Jauh….” Begitu kata Ida saat mobil memasuki jalan lurus Ujung Bate-Kota Fajar.

“Tiga kiloan nih,” tukas pak Jono mengukur jarak yang akan kami tempuh dari Terbangan menuju Pantai Desa Air Pinang.

Pak Dar, sang navigator mengarahkan pak Jono masuk ke Terbangan, kelokan ke arah kanan. Otakku menyebut ke arah selatan. Jalan kampung belum beraspal. Lebih masuk lagi, di sisi kanan kirinya dibangun pondasi. Ada satu lokasi tak lebih dari satu hektar di sebelah kiri bertanah rawa. Tumbuhannya mirip pohon sagu muda, aku kurang tahu namanya. Pohon-pohon itulah yang juga tumbuh di antara pohon bakau. Mungkin PNPM membangun pondasi tersebut agar jalan menuju pantai itu tidak tergenang air kala hujan tiba.

Sampai pinggir pantai, enam lelaki bergerombol. Masing-masing membawa sepeda motor yang di jok belakangnya terdapat keranjang ikan. Lagi-lagi aku mengira-ira, mereka menunggu nelayan pulang dari laut.

Nama dariku

Langit tak begitu cerah kala kaki kami mulai menjejakkan tanah hitam pantai panjang. Ah, sebenarnya aku hanya mengarang saja nama pantai ini. Dulu pernah kutanyakan namanya pada pemilik warung makan di ujung jalan, di atas pantai panjang ini. Tapi dia malah tertawa, lalu berkata ”Tak tau juga kak apa nama pantai ini.”

Kunamai pantai panjang karena memang dia memanjang terlihat hingga Kuala Ba’u, Kota Fajar. Kalau hitungan kilo, nggak usah ditanyakan, aku kurang tahu. Dari ujung jalan kelokan dekat longsoran, Kuala Ba’u terlihat setitik besarnya. Fotonya yang kuambil beberapa waktu lalu dari jalan aspal, jauh di atas pantai, akan kuperlihatkan juga padamu.

Cantik! Pantai ini tak kalah dengan pantai panjang yang ada di Bengkulu. Meski tidak berpasir putih, pinggiran pantainya menawarkan kesejukan. Cemara ditanam beribu batang. Semakin dekat ke pantai, cemaranya semakin muda. Menurut cerita teman-teman yang asli Tapaktuan, cemara-cemara itu ditanam usai tsunami terjadi di Aceh. ”Project BRA,” kata pak Dar.

’Di atas’ cemara, bukit-bukit menjulang sedikit berkabut, berderet hingga ujung pelabuhan Tapaktuan. Pada beberapa lokasi, bukit-bukit itu tampak perkasa dengan benteng batu alam. Batu-batu itu pula yang terlihat seperti terbelah kala melewati jalan ular arah Ujung Bate-Tapaktuan. Di kelokan-kelokan ular inilah, pemakai jalan harus ekstra waspada, terlebih saat musim hujan disertai angin kencang.

Sayangnya, pantai panjang Tapaktuan ini tidak dikelola menjadi tempat wisata. ”Orang sini takut kalau jadi tempat wisata banyak orang maksiat, Mbak. Orang sukanya nyalahin orang datang berwisata. Padahal tidak ada orang berwisata saja banyak juga yang berbuat maksiat. WHnya saja ketangkap warga saat lagi maksiat. Di kantor pula!” ujar bang Asri saat mengantarku ke desa dampingan.

Kesan pantai panjang ini ya apa adanya. Akan lebih terlihat lagi kala kaki kita menapakinya di pasir pantai nan lembut itu. Maksudku apa adanya ya memang tidak ada resort atau pengelolaan layaknya tempat wisata. Hanya satu dua warung makan, seperti di Ujung Bathe, Air Pinang, atau di pojokan-pojokan jalan di atas laut. Jari kita masih sisa jika menghitungnya. Menunya sama, mie instant!

Balik pantai lagi. Pak Dar menyebutknya Gunung Terbang. ”Karena ia terpisah dari bukit-bukit yang lain. Makanya, tempat ini juga disebut Terbangan. Itu karena ada gunung ini,” kata ’ahli peta’ yang mantan wartawan ini.

Gundukan tanah itu tak terlalu tinggi, sekitar 200 meter saja. Pak Dar sudah mengajak lagi untuk menaikinya suatu saat. ”Rute pendek tuh. Lumayan kalau cuma untuk cari keringat.”

Mas Isur mulai gresek. Apa ya bahasa Indonesianya? Ah, kayak pemulung lah… Satu persatu kelapa yang telah bersih dari serabutnya diambil, digoncang-goncang, lalu ditengok pada lubang kecilnya.

”Buat krecek-krecek!” istilah Jawa lagi. Yup, ia memang masih getol mencari barang-barang yang bisa digunakan sebagai alat musik. Maklum, beban pekerjaan yang luar biasa harus diimbangi dengan hiburan yang menyegarkan. Tak perlu menyebutnya memadai. Cukup dengan apa yang ada pun jadi.

Anak muda ’Oey’ tak mau kalah. Ia mengeruk isi dalam kelapa yang masih tersisa dengan sebatang kayu. Sembari berjalan, jika dinilai bagus untuk dibuat alat musik, kelapa mini itu dibawa. Kurang ajarnya, tas kak Mar jadi sasaran. Dititipkannya kelapa-kelapa yang dimakan tupai itu di tas kak Mar. Seperti biasa pula kak Mar tidak berani menolak.

Laut tidak menerima sampah

Dari kejauhan, mas Isur dan Si Anak Muda tampak celinguk’an. Padahal di tangan masing-masing tengah memegang kelapa. Mereka sangat dekat dengan pohon cemara yang ditanam berderet di sepanjang pantai itu. Pak Dar mendekat. Akhirnya aku juga pengen tahu.

Iki tapak penyu,” jelas Pak Dar. Lalu mereka bertiga balik arah mengikuti jejak kaki yang diduga penyu. Lebih dari 100 meter mereka mengikuti, kemudian balik lagi. Jejak kaki itu menuju matahari terbit. Mungkin saja semalam ia datang.

Kata pak Dar, jika orang akan cari penyu, ya di pantai panjang ini. ”Banyak,” katanya.

Selain di pantai panjang ini, aku kerap ’mencari’ penyu yang terhuyung-huyung riak ombak di dekat Tempat Pelelangan Ikan. Tiap sore, mereka selalu tampak hilang timbul di antara gelombang.

Susur pantai kali ini sedikit terganggu dengan pandangan mata menyapu pantai. Sampah-sampah bertebarang dimana-mana. Botol air mineral, bungkus mie instans, hingga bekas pasta gigi ada di sini. Setahuku, orang-orang Tapaktuan dan sekitarnya memang lebih suka membuang sampah di sungai yang berhilir ke pantai. Wajar saja jika pantai ini menjadi tong sampah panjang.

Ya, pantai menjadi tong sampah panjang. Sebab, ”Laut tidak menerima sampah. Laut akan mengembalikan sampah ke darat. Kalau orang membuang sampah ke laut, ia akan menolaknya lagi. Makanya pantai menjadi kotor,” papar kak Mar yang orang asli Tapaktuan.

Areal yang bersih ternyata tidak hanya bisa dinikmati manusia. Beberapa ekor kerbau, empat diantaranya bertubuh bule, tengah menikmati pagi dengan berjemur. Tampak nyaman untuk tubuh mereka yang masih enggan beraktivitas. ”Aih, seperti bule-bule aja, senang berjemur di pantai.”

Mereka mengamati kami saat kami melintas. Kak Mar juga tak mau kalah untuk mengambil gambar melalui kamera ponselnya. Tak jauh dari gerombolan kerbau, anak-anak bermain sepakbola di antara celah sungai dan laut. Asyik juga kelihatannya. Penontonnya yang juga anak-anak tak kalah asyik, menonton sambil tengkurap di pasir yang kering. Pak Dar tak mau kalah, ”Yak, baju biru menggiring bola ke arah lawan, diikuti baku kuning. Yak yak goallllll…..”

To Foto…

Satu lokasi yang terlihat mengerikan kala ada di dalam mobil, saat melintas di jalan aspal atas pantai adalah lokasi longsoran. Dulu, awal kudatang ke kota yang pernah jaya dengan pala ini, longsoran semakin membesar di satu lokasi. Setelah ditanggul beton, longsoran bergeser ke tempat lain. Kali ini hanya berjarak sekitar 20 meter dari jalan yang kuceritakan, bisa melihat view cantik pantai panjang.

Proyek yang memakan biaya besar itu adalah memotong batu-batu bukit di sisi jalan yang terdapat longsoran. Pengerjaannya memakan waktu hingga berbulan-bulan. Setelah pemotongan batu, di lokasi longsoran dibuat bronjong batu berundak. Entah berapa meter kubik batu ditata di pantai untuk menyangga jalan longsor itu. Pengerjaannya belum selesai, sebab pada bagian atas bronjong masih nampak bekas longsoran.

Mengerikan, sekaligus indah dilihat. Mobil-mobil tampak berseliweran dilihat dari bawah. Waw, tinggi juga! Kesempatan yang tidak disia-siakan untuk berpose, bergaya layaknya foto model. ’Tukang fotonya’ ada empat, lalu satu persatu bergabung dengan para model. Jadilah tinggal mas Isur yang jadi tukang foto.

Jalan pagi susur pantai panjang Terbangan-Air Pinang hanya berkisar satu setengah jam. Sesi foto-foto sendiri memakan waktu sekitar setengah jam. Pak Jono yang menunggu di Air Pinang hanya tertawa saat kami bercerita aksi foto-foto kami.

Selasa, 16 Maret 2010 à 20.21