”Mereka semua laki-laki. Mereka itu tentara. Mereka bawa senjata. Seharusnya mereka melindungi kami dari rasa takut, bukan malah menyiksa kami. Kalau saya pribadi, meskipun saat itu usia saya masih kecil, lebih baik saya mati disiksa daripada telanjang di depan mereka”
Ingatan yang masih segar
Konflik selalu menyisakan kisah-kisah memilukan. Tidak jarang perlakuan memalukan pun dilakukan untuk merendahkan martabat sesama manusia, terlebih pada makhluk bernama perempuan. Masih jelas dalam ingatan Nur, pemudi Desa Silolo, Kecamatan Pasie Raja, Kabupaten Aceh Selatan akan peristiwa antara tahun 2003-2004 lalu. Saat itu, ia masih siswi SMP kelas 2. Bersama para inong (perempuan) di desanya, ia diminta berkumpul di satu tempat.
”Setelah dikumpulkan, kami dipaksa melepas pakaian kami. Saat ibu saya menolak, kepalanya dipukul keras-keras. Saya pun ikut dipukul karena menolong ibu saya,” katanya seraya ’mempraktekkan’ cara orang-orang yang memukul ibunya itu. Berkali-kali disekanya air yang mengalir di kiri kanan hidungnya, juga pipi kanan kirinya dengan ujung kerudung yang dipakainya.
Sesaat Nur diam. Matanya menerawang menembus dinding kayu rumahnya. Entah apa yang dipikirkan dalam diamnya. Lalu ia bercerita lagi. Saat itu, kata Nur, beberapa ibu sampai kencing berdiri karena ketakutan. Ada yang pasrah melepas bajunya sendiri karena takut dipukul.
”Tapi semua itu justru membuat orang-orang yang menyiksa kami tertawa terbahak-bahak. Mereka semua laki-laki. Mereka itu tentara. Mereka bawa senjata. Seharusnya mereka melindungi kami dari rasa takut, bukan malah menyiksa kami. Kalau saya pribadi, meskipun saat itu usia saya masih kecil, lebih baik saya mati disiksa daripada telanjang di depan mereka,” ujar gadis lulusan SMP ini parau.
Bersama warga desa Silolo, ia akhirnya memilih mengungsi ke Terbangan dan lalu pindah ke tempat pengungsian di Lhok Bengkoang, Tapaktuan. ”Ketimbang diperlakukan semena-mena saat tinggal di desa, lebih baik mencari tempat yang kami rasa lebih aman.”
Merendam
Praktek kekerasan lain acapkali dilakukan jika pertanyaan tidak menghasilkan jawaban memuaskan bagi pihak penanya. Tika, perempuan Batak yang bersuamikan pria Aceh Selatan bersama tiga perempuan desanya, desa Lhok Sialang Rayeuk, pernah merasakan tamparan di wajahnya. Gara-garanya, jawaban yang mereka berikan tidak memuaskan aparat keamanan yang menanyainya.
”Saya dan tetangga saya hendak ke kebun saat ketemu orang-orang itu. Mereka bertanya apakah kami bertemu dua orang laki-laki berseragam hijau bawa senjata. Orang gunung maksudnya. Waktu kami mengatakan tidak, saya langsung ditampar bersama dua tetangga saya. Seorang lagi dipukul juga saat mengatakan tidak ketemu orang berseragam,” kisah ibu tiga orang anak ini.
Kisah seperti ini juga dikemukakan oleh Linda dari desa Panton Luas. Aparat kerap memukul, menendang, atau Linda menyebutnya, “Sesuka hati aparat” pada warga jika mereka tidak mendapat jawaban yang memuaskan.
Sementara pada para lelaki, hampir setiap hari, aparat di pos jaga memanggil beberapa laki-laki datang ke pos jaga. Setelah sampai di sana, para lelaki tersebut direndam berjam-jam tanpa ada penyebabnya. Pengalaman semacam ini dikisahkan di beberapa desa. Terkadang, seperti kisah Tika, Linda, atau Nur, merendam masyarakat di sungai, parit atau kubangan kerbau menjadi salah satu hiburan bagi aparat TNI. Sebab, setelah para lelaki tersebut berendam, aparat-aparat di pos jaga tertawa-tawa seperti melihat lelucon. Siksaan berendam, kata Linda, sudah menjadi makanan sehari-hari bagi masyarakat.
Hukuman rendam merendam juga bukan hanya ditujukan pada kaum Adam, tetapi juga para kaum Hawa. Inong-inong (perempuan-perempuan) desa tetangga Lhok Sialang Rayeuk, desa Ie Merah misalnya. ”Kalau orang itu bertanya dan kami jawab tidak tahu, kami pasti akan dihukum. Macam-macam hukumannya, dari dipukul, ditampar, atau juga direndam. Dua kali saya direndam di parit karena menjawab tidak tahu. Ya mau jawab apa kalau saya memang tidak tahu ditanyakan orang itu,” kisah Laila yang kini aktif dalam kegiatan pemudi di desanya, Ie Merah.
Seperti Tika, Nur, dan Laila, perempuan-perempuan dari desa-desa dianggap sebagai daerah merah atau acap disebut desa basis GAM, kerap menerima perlakukan kekerasan dari pihak aparat keamanan. Perlakuan ’lebih’ keras kerap ditujukan pada warga yang salah satu atau beberapa orang anggota keluarganya menjadi bagian dari ’orang gunung’.
”Bapak pernah dipukuli di depan mata saya. Mereka bilang pada saya, ’Inilah hukuman bagi orangtua yang kasih ijin anaknya jadi anggota’. Setelah puas memukuli suami saya, mereka obrak-abrik rumah saya. Tahu saya punya beras, mereka suruh saya masak. Saya juga dipaksa sembelih ayam. Setelah makan selesai, baru mereka pergi,” ungkap Midar, perempuan berusia sekitar 60 tahun, dari desa Malaka, Kluet Tengah.
Pengakuan yang sama juga diungkapkan oleh perempuan-perempuan dari Desa Silolo, Ie Merah, Panton Luas, Jambur Papan, Pulo Kambing, Malaka, Krueng Kluet, serta Kampung Paya di Kabupaten Aceh Selatan.
Orang menyebut gila
Peristiwa penyiksaan pada Iwadi masih teringat jelas dalam ingatan Tika. Saat itu, laki-laki berusia lebih dari 40 tahun itu, ujar Tika, ditendang, dipukuli, lalu ditembak kakinya. ”Saya tidak mau membayangkan lagi peristiwa saat itu. Miris, sedih untuk mengingatnya.” Laki-laki itu, kata Tika, kini tidak bisa berjalan akibat penganiayaan tersebut. Menurut Tika, tidak juga ada upaya pengobatan dari aparat TNI sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kekerasan yang dilakukan semasa konflik.
Beberapa lelaki, termasuk -mantan- geucik desa Lhok Sialang Rayeuk, hingga kini sering merasakan sakit di ulu hati. ”Dulu beberapa kali saya kena tinju di sini. Pernah juga dipopor senjata,” kata laki-laki yang bulan Februari lalu telah pensiun dari jabatan kepala desa ini. Lelaki lain, Majid sering merasakan sakit kepala, telinga berdengung hingga merasakan sakit yang amat di telinga. Sedikit berbeda dengan pak Geuchik, Majid ditinju di bagian kepala.
Selain cacat dan gangguan kesehatan tubuh, beberapa warga desa Lhok Sialang Rayeuk juga mengalami gangguan kejiwaan pasca konflik. Gangguan kejiwaan tersebut dialami pemuda hingga manula. Mertua Tika yang kini telah manula hingga sekarang sering mengatakan padanya bahwa dia sangat ketakutan dan jantungnya berdebar-debar. ”Ibu mertua saya pernah dibawa berobat, tetapi tidak sembuh. Ia juga kerap berbicara melantur dan bicara sendiri.”
Masih di desa yang sama, seorang pemuda bernama Khalidi hingga kini hilang ingatan. ”Kata mereka, ’Gila, berbicara sendiri’,” cerita Tika. Khalidi hingga kini tidak berkeluarga atau menikah. Menurut Tika dan beberapa perempuan, aparat TNI pernah menembak kaki Khalidi. Saat itu, Khalidi sedang mengaji di meunasah. Dia oleh aparat TNI dikira anggota GAM. Para perempuan desa tersebut menjelaskan, sebelum “stress”, Khalidi seorang yang alim, pendiam dan suka mengaji. Setelah konflik, oleh orangtua, Khalidi diobati ke beberapa dukun tetapi tidak sembuh. Namun, sekarang tidak lagi dibawa berobat karena tidak memiliki uang untuk membiayainya.
Gangguan kejiwaan yang orang desa sering menyebutnya sebagai gila juga dialami seorang perempuan di desa Silolo. ”Orang itu gila kak, kenapa diajak ngobrol?” tanya Mini, seorang gadis dari Silolo saat tahu saya tengah berbincang dengan seorang perempuan. Pantas, ia lupa pada namanya sendiri, batin saya.
Menurut Mini, Ros, perempuan yang tidak ingat dengan namanya sendiri itu menjadi gila, sering bicara dan tertawa sendiri setelah konflik terjadi. ”Hartanya hilang dicuri orang. Keluarganya ada yang terbunuh.”
Trauma konflik lain mengakibatkan beberapa perempuan menjadi sangat latah. Perempuan-perempuan ini jika mendengar sesuatu yang mengagetkannya, dia akan berkata-kata tidak karuan. ”Dulu dia mendengar suara tembakan yang amat dekat dengannya. Saat mendengar suara tembakan tersebut, perempuan tersebut tercebur di kolam ikan. Sampai sekarang orang itu jadi latah sekali,” ungkap Mini.
Laki-laki lari
Dalam situasi konflik, perempuan kerap menjadi ujung tombak dalam kegiatan perekonomian atau sekedar mengisi periuk untuk anggota keluarga. Demikian pula yang dilakukan Ainun, Tika, Nur, Laila dan banyak perempuan desa lainnya di wilayah Aceh Selatan. Situasi mencekam mengajari para ibu dan para gadis lebih kuat bertahan.
Iyak perempuan desa Malaka menyebut, setiap pasukan tentara RI dikabarkan akan masuk ke desanya, geuchik atau perangkat desa lainnya secepatnya mengumumkan semua laki-laki meninggalkan rumah. Perlengkapan mengungsi berupa beras, panci alat masak, kopi, plastik, serta kain telah dipersiapkan sejak konflik terjadi.
”Di setiap rumah, perlengkapan itu diletakkan di dekat pintu. Jadi sewaktu-waktu tinggal angkut saja. Kami perempuan dan anak-anak ditinggal di rumah. Suami saya bersama laki-laki lain yang bisa berlari secepatnya lari ke gunung,” kata ibu lima orang anak ini.
Perempuan, anak-anak, dan para manula biasanya akan tinggal di rumah, atau berkumpul bersama tetangga, atau juga mengungsi di masjid. ”Kami merasa lebih aman mengungsi di masjid. Kalau pun mau dipukul, ditembak atau bahkan mati sekalipun, kami ada di rumah Allah,” ujar Iyak.
Menurut Iyak, pada umumnya kaum lelaki lari saat pasukan tentara masuk desa karena menghindari aksi tindak kekerasan oleh tentara. Mereka, kata Iyak, sering menyangka dan menuduh warga sipil laki-laki yang tengah berada di rumah adalah anggota GAM yang sedang menengok keluarga. ”Sudah banyak pengalaman begitu. Tiba-tiba suami atau anaknya dibawa, lantas dipukul dan bahkan ditembak mati.”
Diakui Murni bahwa remaja, pemuda, atau bahkan bapak-bapak akhirnya lari ikut ‘orang gunung’ karena tidak tahan disiksa. Perempuan dari desa Panton Luas itu mengungkapkan, banyak anak remaja laki-laki memilih meninggalkan bangku sekolah dan kemudian menjadi anggota GAM. “Sekolah libur. Tinggal di rumah sendiri tidak aman. Anak-anak sekecil itu ikut-ikutan dipukul kalau ada operasi. Makanya lari ke gunung jadi orang gunung.”
Ketua pemuda desa Jambur Papan Udin mengakui hal yang diungkapkan Murni. Ia masih SMP kelas tiga saat ikut para lelaki di desanya mengungsi ke gunung. Saat di gunung, mereka bertemu dengan beberapa kawan tetangga desanya yang telah menjadi kombatan.
“Saya ikut mereka karena kesadaran sendiri dan sama sekali tidak dipaksa. Toh sekolah saya diliburkan entah sampai kapan. Sementara untuk tinggal di desa saya tidak mau lagi. Saya pernah ditinju berkali-kali oleh orang-orang itu-TNI. Lebih baik saya lari mengungsi ke gunung dan jadi orang gunung,” kata bujangan ini.
Lalu ia pun resmi menjadi kombatan dan dilatih berbagai ketrampilan perang. Dua tahun ia menjadi gunung, sebelum akhirnya turun dan langsung mencari anggota keluarganya di pengungsian. ”Tidak enak juga jadi orang gunung. Selalu was-was memikirkan keluarga yang masih tinggal di desa. Tidak bisa membela jika keluarga dipukuli atau disiksa. Perasaan selalu tidak enak,” tambah lelaki yang sangat gemar bermain sepak bola ini.
Anggota kombatan yang sekarang aktif sebagai anggota Komisi Peralihan Aceh, Abi dari desa Krueng Kluet juga mengalami hal yang sama. Ia memilih ikut angkat senjata karena tidak tahan mendapat siksa manakala masih tinggal di desa bersama keluarganya. Saat menjadi kombatan, bersama kawan-kawannya ia sering memberi informasi ke warga desa bahwa ada pasukan TNI – Polri masuk dari wilayah Kota Fajar, Kluet Utara. Tak jarang ia juga menyuruh warga mengungsi ke arah Menggamat, Kluet Tengah.
”Kami tidak tega mendengar masyakat disiksa begitu. Gara-gara kami, masyarakat tewas. Makanya kami tarik usulan agar masyarakat mengungsi,” kata lelaki yang tidak tamat SMP ini. Kata dia, dalam setiap kontak senjata masyarakat kerap menjadi sasaran dan korban.
”Mengapa para pria mengungsi? Dulu pengalaman saya, saya sedang di rumah saat ada kontak senjata di desa Kampung Tinggi. Kemudian pasukan tentara mencari orang gunung yang terpecah-pecah hingga desa kami. Karena saya di rumah, saya diambil, dipukuli, dinjak-injak.” Kampung Tinggi seperti kata Abi merupakan desa tetangga desanya.
Abi juga mengisahkan, ”Ada juga tetangga kami yang tewas disiksa hingga mati. Dia agak berewok. Tentara mengira dia panglima GAM. Habis. Disiksa sampai tewas di tempat. Setiap ada masyarakat yang mati, apalagi wajahnya berewok, nanti yang masuk koran disebutkan Panglima GAM tewas. Padahal mereka hanya masyarakat biasa,” ungkap bapak satu anak ini.
Sebagai mantan kombatan ia mengaku salah, terutama pada masyarakat. Namun, hingga kini ia mengaku tidak rela masyarakat menjadi korban. “Jelas yang kami kerjakan itu salah. Tetapi untuk apa sama masyarakat dia balas. Keadilan tidak ada makanya kami memberontak.”
Baik Udin maupun Abi mengaku lebih bahagia dan tenang dengan kondisi sekarang. ”Konflik telah berakhir. Kami berharap perdamaian terus berjalan dan saling dijaga. Jangan sampai ada kontak senjata lagi sebab yang sangat disengsarakan adalah masyarakat biasa,” kata Udin.
Abi pun berharap sama, generasi penerus bangsa hidup dalam suasana damai. ”Biarlah anak-anak belajar dengan tenang. Tidak seperti kami yang terpaksa putus sekolah karena ikut perang. Di pundak mereka masa depan Aceh saya yakin akan cerah jika tidak ada lagi kekerasan,” ujar Abi mantap seraya mengeleng-gelengkan kepala pada anak lelakinya yang baru berusia 13 bulan.
Ninuk Setya Utami
Information and Advocacy Officer Youth Project, Jesuit Refugee Service Indonesia
Baca entri selengkapnya »