WC Mamak Panjang Sekali

Belasan ekor anak ayam warna coklat dan hitam mengikuti langkah mamak yang tergesa menuju halaman depan. Aku yang keheranan melihat tingkah ayam-ayam piatu malah membuat mamak tertawa. ”Mamak ayam ro mamak ni lah. Induknyo pai (pergi) entah kama (kemana),” ujar mamak.

Mak jadi mamaknya ayam juga (foto : ninuk)

Memang, sejak kemarin kuperhatikan, anak-anak ayam lari mengejar mamak kemanapun mamak pergi. Bahkan ketika aku ngobrol bersamanya, satu dua anak ayam itu lompat-lompat seperti hendak minta dipangku mamak. ”Shhhssss….,” usir mamak pada ayam. Bulatan kecil warna abu-abu mengotori lantai beranda yang bersih. Ayam warna coklat membuang kotorannya di sana.

Rumah mamak berderet empat rumah. Berselang satu bangunan yang dibangun sendiri, rumah kak May, tiga rumah berbentuk sama. Rumah bantuan.

Mamak tak pernah melupakan peristiwa yang merenggut harta bendanya tahun 2002 lalu. ”Pas–tanggal 17 Ramadhan,” banjir bandang meluluhlantakkan rumah, menyeret ternak, bangunan sekolah, juga jembatan di Gampong Lubuk Layu, Kecamatan Samadua, Kabupaten Aceh Selatan. Untuk mengingat kejadian tersebut, bahkan Sila anak gadis mamak menulis di bukunya. ”Tanggal 16 Oktober 2002,” tukas anak bungsu mamak yang juga dipanggil Mande ini.

Rumoh mamak dulu ka sitin (di sana), Nuk. Dakek (dekat) jembatan, dakek rumoh pak Keuchik. Kalau balai –pertemuan- ro dulu rumoh sekolah,” kisah mamak. Bersama warga masyarakat lain, mamak mengungsi bertahun-tahun di gampong tetangga.

rumah mamak, rumah tetangga-tetangganya

Seperti warga negara Indonesia yang lain, walau tertimpa bencana mamak masih merasa beruntung. Doa mamak selama di pengungsian justru terjawab setelah Aceh menjadi pusat perhatian dunia. ”Untung idak ado jiwa mati. Untung Aceh tsunami, mamak dikasi rumoh. Kepiang (uang) masih sisa buat rumoh mak. Sia (siapa) Mande –yang membuatkan?”

WC tanpa saluran

Rumah mamak, juga 14 rumah warga lainnya dibuat oleh Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR). sedangkan rumah sekolah dibangun oleh Badan PBB untuk anak-anak, Unicef. Rumah itu bentuknya sama. Hampir sama dengan ribuan rumah bantuan lainnya. Dua kamar tidur, ruang tamu, satu kamar mandi plus WC-nya. Jika butuh untuk ruangan tersendiri untuk memasak, ya buat sendiri ruang dapur. Rumah mamak pun begitu.

Mamak selalu berterima kasih karena kini ia telah memiliki rumah lagi. Walau kadang ia dan Mande Sila anak gadisnya merasa risih kepada orang-orang yang bertamu ke rumahnya, termasuk aku dan teman-temanku. ”Maaf ya mbak, besok pagi kalau mau buang air besar harus ke sungai. Lubang WC, Mande tutup. Orang tu ngasi WC tapi nggak dikasi salurannya. Jadi nggak bisa dipakai,” ujar Sila.

wc panjang. awas kena jebakan!

Tak hanya itu, mamak juga mengatakan, menurut gambar yang pernah dilihatnya, beranda depan seharusnya juga dikeramik. Namun, apalah daya ia yang buta huruf itu menerima apa adanya. ”Semua rumoh idak dikasi keramik. Apo namoe? Korupsi?” katanya sambil terkekeh.

Murai Batu Diburu, Kejayaan Pala Berlalu

Dian tampak malu-malu. Mulutnya mengatup atas bawah, agak dijulurkan ke depan. Tapi suara yang sedianya keluar sebagai siulan tak keluar. ”Idak bisa ambo…”

Gadis asli Tapaktuan, Aceh Selatan itu sedang menjadi salah satu peserta dalam sesi perkenalan dengan menyebut nama binatang. Ia kebingungan saat secara acak mendapatkan nama Burung Murai Batu. Ya, setiap peserta memang wajib membunyikan suara binatang yang namanya tertempel di punggung masing-masing. ”Gimana ya suaranya?” Dian senyum-senyum.

Putra dan Dedi, pemuda Gampong (Desa) Panton Luas, Kecamatan Tapaktuan, yang juga senyum-senyum kutanyai berbisik, bagaimana bunyi suara Burung Murai Batu. Jawabnya, ”Kami idak tahu juo, Kak….”

Murai Batu juga dikenal gayanya, gaya cobra atau membusungkan dada dan gaya tarung ngeplay atau menaikturunkan ekornya (foto diambil dari http://omkicau.com)

Pak Zulbasni, Ketua Jorong Hilir yang gemas menunggu siulan Dian, malah tertawa. Spontan ia mengatakan, ”Bunyi burung Murai Batu ro ’yang yang yang yang yang….’,” segenap peserta Workshop Advokasi di gampong itu terbahak, juga aku.

Apo idak, idak ado yang tahu suara Murai Batu. Kita ciptakan sendiri lah..’yang yang yang yang…,” ujar pak Zul lagi.

Tangkap pemburu Murai Batu!

Jauh sebelum kabar tsunami Aceh melanda, buah pala sempat menjadi primadona di kota bertajuk Kota Naga, Tapaktuan, Kabupaten Aceh Selatan. Menurut cerita yang kudengar dari arah Menggamat hingga Labuhan Haji, banyak orang Aceh Selatan menjadi kaya dari hasil panen pala.

Bang Asri, driver di lembaga tempatku bekerja malah berkisah padaku begini. ”Kalau dari berita-berita yang saya dengar, dulu waktu kena krismon (krisis moneter) orang-orang di luar Aceh Selatan, di Jawa sana, di mana-mana menjerit. Orang susah cari duit. Waktu krismon tuh, Mbak, kami di Aceh ni sedang kaya-kayanya. Sedang jaya-jayanya, Mbak. Boleh dibilang tiap rumah tu punya kereta (sepeda motor). Kalau satu rumah lebih dari satu kereta baru sudah biasa.”

Bangunan-bangunan rumah yang berukuran besar, menurut bang Asri juga kebanyakan hasil dari buah pala yang melimpah kala itu.

Kisah bang Asri mengingatkanku pada cerita kak Salmina, istri Ketua Pemuda Gampong Panton Luas, Tapaktuan. Ibu tiga anak, satu meninggal itu mengatakan, saat pala berjaya, warga gampongnya sangat rajin bergotong-royong, terlebih di hari Jumat.

”Orang tidak mikir urusan perut lah istilahnya. Urusan perut sudah sangat tercukupi oleh hasil pala. Waktu pala masih jaya, masyarakat membangun masjid dari hasil swadaya. Tapi lama-lama pala mati karena hama. Masjid yang belum jadi terbengkalai tak terurus. Hidup untuk keluarga saja makin berat, apalagi kalau harus mikir pembangunan desa swadaya…..”

Sampai saat ini, pohon pala di Aceh Selatan memang masih banyak ditemui di kebun-kebun masyarakat. Namun, semangat sang pemilik pun hampir sesenyap kebun mereka. Keputusasaan hampir merata dirasakan para pemilik kebun pala, tak terkecuali Keuchik Gampong (Kepala Desa) Pucuk Krueng, Kecamatan Pasie Raja.

”Kurang apa, orang UGM, orang IPB datang kemari. Mengapa banyak kali pohon mati karena hama penggerek. Mereka mengambil sample dari sini, katanya mau diperiksa di laboratorium. Sudah berapa tahun tidak ada laporannya. Entahlah…”

Keuchik juga mengungkapkan, ”Kini tidak hanya palo, Nuk, yang mati. Sawah pun banyak gagal panen karena hama merajalela. Tuh lah kalau para pemburu Burung Murai Batu dibiarkan saja, tidak ditangkap! Kalau pelaku illegal logging ditangkap, seharusnya para pemburu Burung Murai Batu tu juga ditangkap, dihukum! Sekarang ni, Murai Batu menghilang, tidak ada lagi pemangsa hama padi. Tidak ada lagi pemangsa ulat-ulat di batang pala! Matilah ekonomi masyarakat!”

13006921761024131071 Meski asumsi penyebab merebaknya hama pala akibat diburunya si Copychus malabaricus, seorang staf yang kukenal dari Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Aceh Selatan menampik hal itu.

”Kita juga belum tahu pasti penyebabnya. Ada yang bilang karena Murai Batu diburu. Ada pula yang bilang, karena harga pala mahal, tanaman lain di dekat pohon pala dicabut. Alasannya biar pohon pala yang ditanam banyak. Padahal tumbuhan lain itu justru pencegah hama pohon pala. Belum tahu juga sih penyebabnya.”

Terpasti, kicauan sang burung yang merupakan anggota keluarga Turdidae –yang dikenal memiliki kemampuan berkicau yang merdu, bermelodi, dan sangat bervariasi- di Kota Naga Tapaktuan dan sekitarnya memang jarang terdengar. Murai Batu Aceh sendiri merupakan salah satu dari delapan (8) jenis Murai Batu yang dikenal di Indonesia.

Murai Batu tersebut antara lain Murai batu medan, biasa ditemukan di Bukit Lawang, Bohorok, kaki Gunung Leuser wilayah Sumatra Utara, dengan panjang ekor 27 – 30 cm. Murai Aceh berhabitat di kaki Gunung Leuser wilayah Aceh, panjang ekor 25 – 30 cm. Larwo (Murai Jawa) yang sudah sangat langka, hidup di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Tubuh jauh lebih kecil dari murai medan, hanya sekitar 8 – 10 cm panjang ekornya.

Dua jenis Murai yang ada di Kalimantan, Murai Banjar (Borneo) dengan panjang ekor 10 – 12 cm paling populer di Kalimantan. Murai jenis ini hidup di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Ia sangat populer karena sering merajai berbagai lomba di Kalimantan. Satu jenis lagi di Kalimantan adalah Murai Palangka yang berpanjang ekor 15- 18 cm, dan hidup di Kalimantan Barat dan Tengah. Di Lampung, Murai Batu Lampung hidup di Krakatau. Murai Jambi, hidup di Bengkulu, Sumatra Selatan, Jambi. Jenis Murai lain adalah Murai Batu Nias yang berekor 20 – 25 cm.

Heri Tarmizi dan Rahmad ’Ucok’ Adi dari Kelompok Studi Lingkungan Hidup mengatakan, harga anakan burung penyanyi –yang kerap disebut song bird- di pasaran berkisar Rp 500 ribu hingga satu juta rupiah. ”Kalau sudah jadi bisa puluhan juta rupiah. Murai Batu kan nggak hanya dikenal karena suaranya yang merdu, tapi juga gaya bertarungnya yang atraktif dan indah,” ujar Heri yang juga Koordinator Raptor Sumatera itu. Hmmm, kalau di pasaran laku keras, patut saja jika generasi muda Aceh Selatan tidak tahu lagi, apalagi bisa menirukan suara merdunya.Murai Batu telah berada di balik sangkar!


BURUNG MURAI BATU

Scientific classification
Kingdom: Animalia
Phylum: Chordata
Class: Aves
Order: Passeriformes
Family: Muscicapidae
Genus: Copsychus
Species: C. malabaricus
Binomial name
Copsychus malabaricus
Synonyms
Kittacincla macrura
Cittocincla macrura

Sudah Tahu Pungli kok Pak Polisi Ngotot Minta

Hari ini hari keempat aku masuk lagi ke kantor Polisi Sektor tittttttt, di Kabupaten Aceh Selatan. Kalau kutuliskan nama kecamatannya, sudah pasti akan tahu Polsek mana itu. Kedatanganku –yang kuhitung sudah 5 kali sejak Selasa lalu- untuk mengambil surat ijin kegiatan yang akan kami lakukan dengan lembagaku. Kemarin sebenarnya sudah jadi suratnya, tapi Kasi Umum (disingkat di tulisan papan atas pintu Kasium) lupa memintakan tanda tangan dengan Kapolsek.

Tadi waktu kudatang, aku langsung diminta masuk ke ruangan Kasium. ”Sudah jadi, Kak,” kata laki-laki yang –hanya- setinggi kupingku. Di ruangan itu ada seorang ibu yang duduk memegang anak laki-lakinya. Sejak ketemu kemarin, ramah anak itu. Mau kuajak ngobrol walau belum jelas ia mengatakan apa. Kata sang bunda, usianya dua tahun.

”ADMnya lima puluh ribu, Kak,” ujar laki-laki berambut cepak itu. Tak kutahu namanya karena Jumat mereka berseragam training tanpa memasang tanda pengenal. Saya bilang, baik, ”Saya minta kuitansinya ya Bang.” lalu keluar pinjam uang pada bang Asri yang masih di dalam mobil. Uangku sendiri tadi pagi terlanjur kutukar recehan ke Andi Sarkani.

”Kakak ni minta kuitansi…. O, ndak bisa? Tapi dia minta…. ya ya….” rupanya lelaki pendek itu menelpon seseorang, yang kuduga Kasi Intel. Yap, karena suratku empat hari lalu diterima. Setahuku, pembuatan surat rekomendasi ataupun ijin kegiatan dibuat oleh bagian intel.

”Kami nggak bisa keluarkan kuitansi, Kak,” tangannya masih memegang kuitansi berukuran hampir sebesar buku tulis anak sekolah, yang lusuh. Mungkin memang jarang digunakan.

”Tapi gimana nanti saya pertanggung-jawabkan ke bagian bendahara saya, Pak. Kalau kami 50 rupiahpun harus ada kuitansinya, Pak,” kataku.

”Itulah Kak. Kan kakak tahu kami tidak boleh minta imbalan. Kalau kami minta imbalan itu namanya pungli, Kak. Apalagi kakak minta ada kuitansi, kalau ketahuan nanti kami payah…. Kami ketahuan pungli…” tutur dia.

Laki-laki berseragam Polisi berumur sekitar 50an tahun yang duduk di balik meja malah berkata, ”Nggak usah pakai kuitansi lah… ”

Aku ngeyel lagi, ”Itulah Pak kalau nggak ada kuitansi, repot saya nanti minta gantinya ke bendahara. Apa iya setiap ngurus surat ijin saya keluarkan uang sendiri terus. Kan ini urusan kantor Pak. Kami bisa keluarkan uang kalau ada nota atau kuitansi Pak.”

Demi pusing melayani aku, pria pendek itu akhirnya mempersilakan aku pergi saja.

Yap, padahal di depan pagar kantor polsek itu terulis ”Kami tidak menerima imbalan apapun.” Aturan bagus yang belum lama berlaku malah justru ada di kantor Polisi Resor Aceh Selatan. Di ruangan bagian intelkam spanduk berukuran lebih dari satu meter memangjang ke bawah tertulis, ”Dukung kami untuk tidak menerima suap, imbalan, dalam bentuk apapun dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.”

Sejak beberapa bulan terakhir, pengurasan ijin kegiatan peningkatan kapasitas kepemudaan dan masyarakat pun tidak berbelit-belit dan memakan waktu panjang.

Aceh Selatan Bangkrut, Mau tutup?

“Mana periksa, Nuk, idak ada dokter yang periksa. Mereka masih mogok. Entah sampai kapan!” tutur ibu Mus yang rumahnya biasa kulewati tiap berangkat dan pulang dari kantor. Ia mengaku sakit perut, muntah-muntah saat kusapa pagi tadi. Aku hanya bertanya padanya apakah beliau sudah periksa ke rumah sakit.
Sejak Senin (3/1) lalu, para dokter spesialis berstatus PNS di Rumah Sakit Umum Daerah Yuliddin Away Tapaktuan, memang mogok kerja. Mereka, salah satunya dokter spesialis penyakit dalam, dr Jun Sp Pd yang menjadi langgananku dan teman-temanku saat sakit, melakukan aksi protes menolak kebijakan Tim Anggaran Pemerintah Daerah dan Tim Anggaran DPRK yang memotong anggaran rumah sakit sampai 50%. Selain itu, intensif para dokter ini dalam Anggaran Pendapatan Belanja Kabupaten (APBK) 2011 juga dipotong dari sebelumnya Rp 17 juta/bulan kini menjadi Rp 8 juta/bulannya.

pesan pendek dokter Jun


Banyak kalangan, termasuk bapak kosku, Pak Ali yang bekas pegawai PLN Tapaktuan mengatakan bahwa APBK Aceh Selatan 2011 tidak pro rakyat. ”Tidak punya hati tu mereka (Tim Anggaran Pemerintah Daerah dan Tim Anggaran DPRK). Orang ke rumah sakit kan karena sakit. Lebih banyak orang miskin di sini. Anggaran rumah sakit dipotong habis-habisan, tidak memikirkan rakyat mereka tuh,” ujarnya semalam kesal.

Aku kena marah! Apa pula ini?!
Aceh Selatan yang kotanya tak terlalu besar –sesepi-sepinya dusun di Wonogiri tempat masku sepupu yang dokter bekerja, masih ramai di sana dibanding Tapaktuan- masih sakit seperti tubuhku yang terlanjur suak. Konflik yang pernah terjadi di sini terus menggerogoti sendi-sendi kehidupan warganya, juga perpolitikan maupun birokrasi. Ketidakwarasan akibat konflik tak hanya diderita oleh sebagian warga yang tidak kuat dengan tindak kekerasan, tetapi juga para pemangku kebijakan.

Awal minggu lalu, ketika kubertandang lagi ke salah satu dinas di Kota Naga ini, aku dan Didik malah kena damprat. Padahal baik-baik kami tanyai rencana dinas –sebagai pengemban amanat Undang-Undang, terhadap pembinaan kaum muda. Jika toh dinas membutuhkan bantuan, kamipun bersedia membantu. Tetapi ia malah mengumpat penuh emosi.

”Jangan ngecat langit lah! Pokoknya kami digaji untuk kerja di kantor! Kalau menjalankan program di lapangan kami perlu anggaran! Nah anggarannya nggak disetujui! Jadi nggak perlu tanya-tanya lagi soal rencana ke depan! Asal kalian tahu saja, Aceh Selatan sudah bangkrut! Sebentar lagi tutup!”

Dari warta-warta yang kubaca, alokasi anggaran yang disusun memang tidak memihak pada sektor meningkatkan pelayanan pada rakyat. Perbandingannya 60 persen untuk biaya aparatur dan 40 persen pelayanan publik. Paling mencolok ya pemangkasan anggaran untuk kesehatan dan pendidikan. Di banyak tempat kudengar kemarahan. “Keuangan daerah katanya minim, tapi biaya pembelian mobil fraksi DPRK dan mobil beberapa SKPD masih dianggarkan!”

Demonstrasi kecil-kecilan –karena jumlah polisi tidak sebanding dengan para pendemo- di kota bekas penghasil pala ini bergulir dari hari kehari. Dari media juga kubaca, para aktivis juga berunjukrasa di Banda Aceh. Di depan para aktivis asal Aceh Selatan, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf akhirnya mengatakan sepakat merevisi ulang APBK 2011 Kabupaten Aceh Selatan yang telah disahkan lembaga legislatif akhir tahun lalu.

Aceh selatan tutup…. Jika sakitnya sang kepala sudah terlalu akut, apakah masih terasakan seluruh tubuh jika para kaki-kaki tertancap paku?

Early Warning Gempa masih sampai 27 Desember!

“Nanti digoyang gempa lagi nggak ya?” tanyaku pada diri sendiri. Sudah dua hari aku merasakan goncangan lagi. Rabu (22/12) malam pukul 21an lalu, setelah kubaca media esoknya (hari ini, 23/12), goncangan itu hanya berkekuatan 5,8 skala Richter. Di website Badan Meterorologi Klimatologi dan Geofísika (BMKG) dikatakan, gempa itu berkedalaman 18 km yang berpusat 65 km barat laut Sinabang, Aceh.

Lalu tadi pagi ketika aku sedang meracik bumbu sayur bayam, orang-orang berteriak. Dan memang ada bunyi, “brrrrggggkkkkk….” walau hanya beberapa detik. Mbak Santi yang satu kos denganku turun dari kamar. “Gempa e mbak…Pager nduwur nganti goyang-goyang (pagar di lantai atas sampai bergoyang),” terangah-engah.

Goncangan gempa tadi pagi pukul 7-an menurut BMKG berkekuatan 5,5 SR, dengan kedalaman 15 KM, dengan pusat gempa 45 KM Barat Daya, Meulaboh, Aceh. Tapi kata temanku begini, “Goncangannya terasa sampai Sigli.” Wah!

Sejak kubaca catatan Mas Edie Nugroho yang kukenal di situs jejaring social facebook, jantung kerap berdegup. Mas Edie menulis begini :

Early Warning Potensi Gempa terjadi tgl 22-27 Des’10
MOHON DISIKAPI DENGAN BIJAK. TIDAK BERMAKSUD MEMBUAT TAKUT/PANIK. SEBAGIA PENGINGAT AGAR SENATIASA WASPADA/SIAPSIAGA. INGAT…!!! SELALU IKUTI PETUNJUK PETUGAS YANG BERWENANG !!!
Wilayah potensi gempa tanggal 22-27 Des’10 :
> Kep. Talaud
> utara Halmahera
> Jayapura
> Laut Banda di Tanimbar
> daerah Ujung Kulon
> lepas laut Simeulue

Memang, dengan membaca catatannya seharusnya aku lebih siap, termasuk saat gempa ‘agak besar’ menguncang Aceh beberapa bulan lalu. Ia selalu mewanti-wanti lewat dindingnya untuk waspada. Prediksi yang entah darimana itu memang selalu tepat. Meskipun orang BMKG atau juga sebagian ahli selalu mengatakan, gempa tidak dapat diprediksi seakurat itu. Tapi toh, Mas Edie selalu memberikan aba-aba yang tepat lewat catatannya.

Mau Aman Masuk Rimba? Buang Pusar Harimau di Kepalamu!

Kain warna biru berbentuk segitiga yang menutupi rambutku dibuka Leni. Tidak semuanya, hanya disibakkan pada bagian tengkuk leherku. Jari tangan gadis ini, sepertinya jari telunjuk, ia telusurkan persis di ujung kepalaku yang berambut tipis-tipis. Dari sebelah kanan, tangannya pindah ke ujung kepala sebelah kiri. Mungkin saat melihat ujung kepala bagian kiri, tubuhnya sengaja ia tegakkan. Ia memang tengah duduk di sebelah kananku.

”Tidak ada, Nuk. Tapi kalau mau tahu pastinya, kamu periksalah ke Bapak tuh. Biar aman kalau jalan ke hutan,” kata Pemudi Gampong Panton Luas, Kecamatan Tapaktuan, Aceh Selatan itu padaku.

Lalu ia berkata lagi, ”Kepalaku juga sudah diperiksa. Tadinya dilihat mamak. Tapi mamak juga kurang tahu pasti ada atau ndak ada di kepalaku. Aku disuruhnya periksa ke Bapak tuh. Memang tidak ada.”

Sejak peristiwa mengenaskan minggu lalu (Lagi, Manusia vs Harimau! Mati!), warga Gampong Panton Luas, Tapaktuan, berbondong-bondong memeriksakan kepalanya pada seorang pawang harimau. Kata seorang pemuda padaku, pawang harimau asal Aceh Barat sengaja didatangkan ke desa untuk mengusir atau menangkap harimau yang telah memakan Martunis. ”Kakek tu juga bersedia menghilangkan tanda sial pada orang-orang yang memilikinya. Paling nggak untuk mencegah kena sial lah….”

Orang-orang menyebut tanda sial itu bernama pusar harimau! Aku sendiri baru pertama kali mendengar istilah itu. Katanya, bentuknya mirip pusar rambut yang ada di setiap kepala kita (Jawa : unyeng-unyeng). Hanya saja, letaknya ada di kepala bagian bawah, pada ujung kepala, baik kiri atau sebelah kanan. Menurut cerita yang beredar di gampong itu, jika tanda sial tidak dihilangkan, orang itu bakal sial jika masuk hutan. (Mau aman masuk hutan? Buang dulu pusar harimau di kepalamu! foto disalin dari missrohamia.blogspot.com)

”Orang yang punya pusar harimau akan aman jika tinggal di kota. Tapi kalau seumpama orang tu datang ke kampung, nenek akan turun ke kampung mencarinya. Lebih-lebih kalau pusar harimau di kepala orang tu sudah matang, nyawanya sudah di ujung barangkali,” tutur Kak Mun. (Foto diambil di animalpicturesarchive.com)

Menurut Kak Mun, pusar itu dihilangkan dengan cara dikerik. ”Sampai berdarah-darah juga. Tapi kakek tu juga baca doa-doa.”

Kak Mun mengatakan, pawang harimau yang didatangkan oleh pihak BKSDA itu tidak memungut biaya pada warga yang meminta pusar harimau di kepalanya dihilangkan. ”Kami hanya bawa ayam, katanya untuk kenduri anak yatim jika kakek tu pulang ke Meulaboh. Kakek tu juga tidak banyak kasih pantangan. Dia hanya bilang supaya kita tidak meninggalkan sembahyang, sholat lima waktu.”

Hingga kemarin, sudah 12 orang warga yang telah berhasil dibersihkan pusar harimau di kepalanya oleh sang pawang.

Takut ditakut-takuti
Meskipun seorang pawang harimau telah didatangkan, suasana ketika berada di desa memang masih terasa mencekam. Warga umumnya masih merasa takut untuk pergi ke ladang untuk berkebun atau bertani. Sebab kata beberapa warga gampong, nenek masih sering mondar-mandir di sekitar tempat ditemukannya almarhum Martunis. Walau suami Kak Mun mengungkapkan bahwa Panthera tigris sumatrae itu memang ’berumah’ di goa di sekitar sana.

Suasana mencekam lebih terasakan ketika siang beranjak sore menyambut datangnya malam. Sekalipun suasana itu sendiri kadang lebih dibangun berdasarkan praduga, juga ketakutan yang sengaja dilebih-lebihkan oleh pikiran. Salah seorang yang berkeluh kesah padaku adalah Leni. Ia sengaja memintaku menemaninya saat turun ke kota naik sepeda motor. Seorang ibu yang tidak kutahu namanya berkata pada Leni, juga padaku.

”Lah ado yang liek jejak kaki nenek di bawah! Idak usah turun. Ihhh, ambo takuik! Mati kau nanti!”

Padahal saat itu maghrib masih sekitar satu jam lagi. Sinar matahari masih terasa menggigit di kulit. ”Itulah Nuk yang membuat kita tambah takut. Kemarin Leni berangkat sudah jam tujuh lebih seperti hari-hari biasa kalau Leni masuk malam. Sendiri nggak apa-apa. Tapi orang tu malah menakut-nakuti,” ujar gadis yang bekerja di RSU Dr. H. Yuliddin Away, Tapaktuan itu.

Swadaya
Selain mendatangkan pawang harimau, saat ini warga desa berswadaya membuat perangkap harimau dari bahan yang mereka miliki. Keuchik Gampong Panton Luas mengatakan, keputusan untuk membuat perangkap harimau adalah keputusan warga gampong. ”Awalnya belum kami pikirkan, tapi kemudian ada pandangan itu karena warga takut ke kebun. Takut kalau-kalau jumpa dia lagi, ada korban lagi.”

Soal aman atau tidaknya perangkap itu bagi kenyamanan harimau saat masuk perangkap, seorang warga mengatakan tidak begitu memperdulikannya. ”Asalkan dia tertangkap sehingga kami aman ke kebun lagi,” sela Pak Wi. Ia sendiri berharap perangkap harimau disediakan pihak-pihak terkait seperti BKSDA.

Bapak yang berusia sekitar 60 tahun itu juga berharap, pawang harimau yang telah didatangkan ke gampong mampu menjadi jembatan penolong bagi warga desa. Jika pun harimau tidak masuk perangkap dan tidak bisa ditangkap, warga desa tetap aman dimana saja setelah tanda sial pusar harimau dihilangkan. ”Seperti bencana kan, bisa ditanggulangi. Kita berikhtiar dengan berbagai cara yang semoga tidak melanggar ajaran Islam,” katanya dalam bahasa Taluak yang diterjemahkan oleh Bang Asri seperti ini.

Akh, aku kok jadi pengen tahu ya, apakah ada pusar harimau di kepalaku? Atau juga di kepalamu? Ayoh kita periksa!

Lagi, Harimau Vs Manusia. Mati!

“Pemuda Desa Panton Luas meninggal dimakan harimau,” ujar Dian. Ia belum juga masuk pintu kantor saat menyampaikan kabar duka itu. Mbak Elis yang keluar dari ruangannya memperjelas kabar itu. Ia malah bergidik sambil memegang perutnya.

Pemuda yang sehari-hari bekerja mencari rotan itu bernama Martunis. Namun, kata Dian dan Bang Asri yang mendengar kabar dari Keuchik (Kepala Desa) Gampong Panton Luas, Kecamatan Tapaktuan, Kabupaten Aceh Selatan itu, Martunis tengah ke hutan menunggu durian.

“Sekarang kan lagi musim durian. Biasanya nenek keluar di masa-masa musim durian,” kata Bang Asri. Nenek seperti yang dikatakan Bang Asri ditujukan untuk sang Panthera tigris sumatrae.

menunggu punah? (foto diambil di hinamagazine.com)Leni pemudi desa Panton Luas menyebut, almarhum sempat pamit pada orangtuanya ke Gunung Serindit yang berjarak sekitar satu kilometer dari desa. “Jadi takut juo ambo ke gunung Kak,” kata dia lewat pesan pendek.

Konflik antara harimau dengan manusia kian kerap terjadi. Rasaku, baru beberapa bulan yang lalu si raja hutan sumatera itu turun ke Desa Jambo Apha di Kecamatan yang sama. Ketika ramai-ramai ditangkap, ia akhirnya mati setelah mendapat perawatan di Banda Aceh.

Lalu, apakah meauuwww yang memakan organ dalam alm Bang Martunis juga akan mengalami nasip yang sama? Seorang teman berkata padaku, ”Biasanya kalau sudah memakan manusia, ia akan menyerah sebentar lagi. Tidak lama dia akan mati tuh. Itu sudah sumpah dia dulu.” Akh, apa iya begitu? Bukankah jika tanpa tersakiti pun ia terus diburu? Bukankah manusia yang pendendam ini akan terus mencarinya hingga ia mati ditangan manusia?

Satu hal yang kuanggap lucu, atau malah ironis ketika tadi kukontak teman konservasionis satwa yang juga ada di Aceh. ”Kalau di Aceh Selatan tu sudah ada YLI (Yayasan Lauser Indonesia) yang mendampingi masyarakat. Itu karena desa itu masuk wilayah KEL (Kawasan Ekosistem Lauser).”

Logikaku tak berjalan, aku tak mengerti. Tanyaku hanya sederhana, apakah donor lembaga tidak akan mengerti atau tak mau mengerti jika lembaga tersebut turun di satu wilayah yang bukan area yang didanainya? Entahlah…

Hampir tidak ada bedanya dengan lontaran Menteri Kehutanan Zulkifli yang menyalahkan manusia saat terjadi konflk antara manusia dengan harimau atau gajah. Hanya menyalahkan tanpa solusi, konflik akan terus terjadi sampai kapanpun. Mungkin sampai gajah dan harimau punah dari muka bumi

« Older entries