Dian tampak malu-malu. Mulutnya mengatup atas bawah, agak dijulurkan ke depan. Tapi suara yang sedianya keluar sebagai siulan tak keluar. ”Idak bisa ambo…”
Gadis asli Tapaktuan, Aceh Selatan itu sedang menjadi salah satu peserta dalam sesi perkenalan dengan menyebut nama binatang. Ia kebingungan saat secara acak mendapatkan nama Burung Murai Batu. Ya, setiap peserta memang wajib membunyikan suara binatang yang namanya tertempel di punggung masing-masing. ”Gimana ya suaranya?” Dian senyum-senyum.
Putra dan Dedi, pemuda Gampong (Desa) Panton Luas, Kecamatan Tapaktuan, yang juga senyum-senyum kutanyai berbisik, bagaimana bunyi suara Burung Murai Batu. Jawabnya, ”Kami idak tahu juo, Kak….”
Pak Zulbasni, Ketua Jorong Hilir yang gemas menunggu siulan Dian, malah tertawa. Spontan ia mengatakan, ”Bunyi burung Murai Batu ro ’yang yang yang yang yang….’,” segenap peserta Workshop Advokasi di gampong itu terbahak, juga aku.
”Apo idak, idak ado yang tahu suara Murai Batu. Kita ciptakan sendiri lah..’yang yang yang yang…,” ujar pak Zul lagi.
Tangkap pemburu Murai Batu!
Jauh sebelum kabar tsunami Aceh melanda, buah pala sempat menjadi primadona di kota bertajuk Kota Naga, Tapaktuan, Kabupaten Aceh Selatan. Menurut cerita yang kudengar dari arah Menggamat hingga Labuhan Haji, banyak orang Aceh Selatan menjadi kaya dari hasil panen pala.
Bang Asri, driver di lembaga tempatku bekerja malah berkisah padaku begini. ”Kalau dari berita-berita yang saya dengar, dulu waktu kena krismon (krisis moneter) orang-orang di luar Aceh Selatan, di Jawa sana, di mana-mana menjerit. Orang susah cari duit. Waktu krismon tuh, Mbak, kami di Aceh ni sedang kaya-kayanya. Sedang jaya-jayanya, Mbak. Boleh dibilang tiap rumah tu punya kereta (sepeda motor). Kalau satu rumah lebih dari satu kereta baru sudah biasa.”
Bangunan-bangunan rumah yang berukuran besar, menurut bang Asri juga kebanyakan hasil dari buah pala yang melimpah kala itu.
Kisah bang Asri mengingatkanku pada cerita kak Salmina, istri Ketua Pemuda Gampong Panton Luas, Tapaktuan. Ibu tiga anak, satu meninggal itu mengatakan, saat pala berjaya, warga gampongnya sangat rajin bergotong-royong, terlebih di hari Jumat.
”Orang tidak mikir urusan perut lah istilahnya. Urusan perut sudah sangat tercukupi oleh hasil pala. Waktu pala masih jaya, masyarakat membangun masjid dari hasil swadaya. Tapi lama-lama pala mati karena hama. Masjid yang belum jadi terbengkalai tak terurus. Hidup untuk keluarga saja makin berat, apalagi kalau harus mikir pembangunan desa swadaya…..”
Sampai saat ini, pohon pala di Aceh Selatan memang masih banyak ditemui di kebun-kebun masyarakat. Namun, semangat sang pemilik pun hampir sesenyap kebun mereka. Keputusasaan hampir merata dirasakan para pemilik kebun pala, tak terkecuali Keuchik Gampong (Kepala Desa) Pucuk Krueng, Kecamatan Pasie Raja.
”Kurang apa, orang UGM, orang IPB datang kemari. Mengapa banyak kali pohon mati karena hama penggerek. Mereka mengambil sample dari sini, katanya mau diperiksa di laboratorium. Sudah berapa tahun tidak ada laporannya. Entahlah…”
Keuchik juga mengungkapkan, ”Kini tidak hanya palo, Nuk, yang mati. Sawah pun banyak gagal panen karena hama merajalela. Tuh lah kalau para pemburu Burung Murai Batu dibiarkan saja, tidak ditangkap! Kalau pelaku illegal logging ditangkap, seharusnya para pemburu Burung Murai Batu tu juga ditangkap, dihukum! Sekarang ni, Murai Batu menghilang, tidak ada lagi pemangsa hama padi. Tidak ada lagi pemangsa ulat-ulat di batang pala! Matilah ekonomi masyarakat!”
13006921761024131071 Meski asumsi penyebab merebaknya hama pala akibat diburunya si Copychus malabaricus, seorang staf yang kukenal dari Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Aceh Selatan menampik hal itu.
”Kita juga belum tahu pasti penyebabnya. Ada yang bilang karena Murai Batu diburu. Ada pula yang bilang, karena harga pala mahal, tanaman lain di dekat pohon pala dicabut. Alasannya biar pohon pala yang ditanam banyak. Padahal tumbuhan lain itu justru pencegah hama pohon pala. Belum tahu juga sih penyebabnya.”
Terpasti, kicauan sang burung yang merupakan anggota keluarga Turdidae –yang dikenal memiliki kemampuan berkicau yang merdu, bermelodi, dan sangat bervariasi- di Kota Naga Tapaktuan dan sekitarnya memang jarang terdengar. Murai Batu Aceh sendiri merupakan salah satu dari delapan (8) jenis Murai Batu yang dikenal di Indonesia.
Murai Batu tersebut antara lain Murai batu medan, biasa ditemukan di Bukit Lawang, Bohorok, kaki Gunung Leuser wilayah Sumatra Utara, dengan panjang ekor 27 – 30 cm. Murai Aceh berhabitat di kaki Gunung Leuser wilayah Aceh, panjang ekor 25 – 30 cm. Larwo (Murai Jawa) yang sudah sangat langka, hidup di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Tubuh jauh lebih kecil dari murai medan, hanya sekitar 8 – 10 cm panjang ekornya.
Dua jenis Murai yang ada di Kalimantan, Murai Banjar (Borneo) dengan panjang ekor 10 – 12 cm paling populer di Kalimantan. Murai jenis ini hidup di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Ia sangat populer karena sering merajai berbagai lomba di Kalimantan. Satu jenis lagi di Kalimantan adalah Murai Palangka yang berpanjang ekor 15- 18 cm, dan hidup di Kalimantan Barat dan Tengah. Di Lampung, Murai Batu Lampung hidup di Krakatau. Murai Jambi, hidup di Bengkulu, Sumatra Selatan, Jambi. Jenis Murai lain adalah Murai Batu Nias yang berekor 20 – 25 cm.
Heri Tarmizi dan Rahmad ’Ucok’ Adi dari Kelompok Studi Lingkungan Hidup mengatakan, harga anakan burung penyanyi –yang kerap disebut song bird- di pasaran berkisar Rp 500 ribu hingga satu juta rupiah. ”Kalau sudah jadi bisa puluhan juta rupiah. Murai Batu kan nggak hanya dikenal karena suaranya yang merdu, tapi juga gaya bertarungnya yang atraktif dan indah,” ujar Heri yang juga Koordinator Raptor Sumatera itu. Hmmm, kalau di pasaran laku keras, patut saja jika generasi muda Aceh Selatan tidak tahu lagi, apalagi bisa menirukan suara merdunya.Murai Batu telah berada di balik sangkar!
BURUNG MURAI BATU
Scientific classification
Kingdom: Animalia
Phylum: Chordata
Class: Aves
Order: Passeriformes
Family: Muscicapidae
Genus: Copsychus
Species: C. malabaricus
Binomial name
Copsychus malabaricus
Synonyms
Kittacincla macrura
Cittocincla macrura