“Mampir dulu nggak bang, ke kantor cabang?” begitu tanya Didik sambil tertawa pada Bang Paldi, driver yang mengantar aku, Didik, mbak Oni dan mbak Rita pada Desember tahun lalu. Kami pulang dari Parapat menuju Tapaktuan, Aceh Selatan. Bang Paldi yang ditanyai malah menjawab dengan tawa yang renyah.
Sore tadi, istilah ’kantor cabang’ kembali terdengar dari mulut Dede. ”Sebentar lagi kita masuk kantor cabang ya mas?” Kali ini pertanyaannya ditujukan pada Didik.
Hmmm, apa toh kantor cabang? Batinku. Tapi kemudian kutanyakan juga pada keduanya, dan hanya disambut tertawa. ”Ra ngerti tenan po, Nyil?” tanya Didik padaku, dengan panggilan versi akrabnya, yang dibuatnya khusus untukku, Unyil.
”Ya, sebentar lagi kita lewat di kantor cabang,” begitu kata Didik, pastinya jawaban untuk Dede, tetapi mungkin juga menegaskan padaku.
”Nah, ini salah satunya,” kata Dede. Spontan entah ditimpali kalimat apa oleh Didik. Aku lupa persisnya.
Dari kaca buram mobil hanya tampak bangunan semi permanen terbuat dari papan kayu. Bangunan itu lebih tinggi dari jalan. Ia berada di sisi kanan jalan arah Medan – Aceh Selatan. Jendela ala kios-kios warung yang bisa dibuka papannya satu persatu nampaknya hanya dibuka dua papan saja.
Seorang lelaki tampak tengah duduk sambil merokok, berjaket warna coklat berpadu warna krem. Dari jendela kecil itu, dia menghadap ke arah jalan arah Medan. Sepertinya ia duduk persis di pojokan rumah. Tangan kanannya ditekuk ke arah dalam. Memang, rokoknya tak kulihat secara langsung, tetapi dalam pandanganku yang hanya sekian detik, mulutnya mengepulkan asap. Pastinya asap rokok.
Saat posisi mobil menjauhi bangunan kayu itu, dari sisi arah jalan ke Aceh Selatan, pintu terbuka. Kepalaku yang menengok ke belakang mengikuti bangunan, menemukan dua perempuan berpakaian ketat –kalau tidak dikatakan seronok. Sepertinya ia tengah berbincang dengan orang-orang di dalamnya.
Secepat kilat mobil yang dikendarai Didik melaju. Kuambil kamera poket, tapi telat. Mobil melaju sangat kencang di aspal yang mulus.
”Tinnnnnnnn…. tinnnnnnnnnnnn….” begitu klakson dibunyikan Didik. Panjang. Kulihat mobil di belakang yang dikendarai bang Paldi, yang berpenumpang mas Doni dan pak Dar, tak membalas klakson yang dibunyikan Didik.
Lalu, pada sisi kiri jalan, bangunan semi permanen lain berdempetan. Mungkin lebih dari lima bangunan, berupa kios-kios atau warung makan. Botol-botol dari air mineral hingga bir terpajang di sana.
”Wah, masih sepi,” ujar Dede. Tapi kemudian, ”Ha!” serentak Didik dan Dede berkata. Lalu keduanya tertawa.
Seorang perempuan berambut panjang mendadai mobil yang kami kendarai.
Hm hm hm…tahu aku apa yang disebut kantor cabang! ”Ohhhhh….itu to maksudnya kantor cabang?!” entah pertanyaan atau justru jawaban yang kutemukan sendiri.
Aku membatin lagi, ”Oh, makanya waktu lewat sini malam-malam ada waria berpakaian seksi. Juga beberapa perempuan berpakaian serupa. Ya itu tadi jika tidak mengatakannya dengan istilah seronok. Beberapa mobil di parkir di depan warung-warung makan yang terbuka.”
Ya ya, mungkin ini pula salah satu tempat yang menjadi keprihatinan lembaga internasional, yang berfokus pada isu HIV AIDS, hendak melakukan advokasi terkait hal ini. Bukan Pak Pak Barat, Sumatera Utara, tempat kantor cabang ini ada, tetapi lebih fokus di wilayah Aceh Selatan.
Aku jadi ingat tentang istilah ’buang hajat’. Istilah ini kerap diucapkan bukan hanya teman-teman sekantorku, tetapi juga kawan-kawan kerja di tempat lama yang pernah bekerja di Aceh. Juga teman yang baru kukenal saat perjalananku pulang dari Tapaktuan, Aceh Selatan menuju Medan.
Kata mereka, orang Aceh banyak yang buang hajat di tempat itu. Ya buang hajat di kantor cabang. Bukan, bukan semua orang Aceh, tetapi orang Aceh yang tidak memiliki lawan untuk membuang hajatnya. Membuang birahinya. Salah, ia barangkali punya istri, tapi entahlah mengapa masih pula main ke kantor cabang.
Atau juga karena di Aceh sangat dilarang untuk bercinta di sembarang tempat. Hiks, meskipun di beberapa tempat kutahu ada juga pasangan nekat bermesum sembunyi-sembunyi. Ya iyalah, Nuk, masak di jalanan kayak di Medan sana! Ini kan Aceh! Kataku pada diriku sendiri. Maksudku sih, sampai ke semak-semak di balik atau di kaki-kaki bukit yang rimbun.
Balik lagi ke kantor cabang, letaknya memang di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara. Pak-Pak Barat hanya berjarak beberapa kilometer dari Subulussalam, Aceh Selatan paling timur! Tempat mampir para sopir, yang pengen ngepir, katanya. Juga tempat mampir para orang yang senang plisir untuk urusan semrinthil hehehehe….
Kantor cabang, tempat yang aman untuk buang hajat. ”Wilayatul Hisbah atau yang kerap hanya disebut WH (polisi moral ala Aceh) nggak bisa nggerebek sampai ke sini, makanya aman-aman saja kalau mo buanh hajat di situ,” begitu kata teman seperjalananku pada April lalu.
Hmmm, ya ya…..
Kamar putihku
Minggu, 6 menjelang 7 September 2009, 23:34
kantor cabang dari jauh..