Belajar Internet Demi Cap Jie Kia

Aku lagi asyik bermain dengan ponakanku, Wawa, kala tetanggaku –sebut saja- Paijo menanyaiku. “Rego laptop pironan yo, Mbak (Harga laptop –pengucapannya persis dengan tulisan ini- berapa’an)?”

Paijo yang ke warung ibu untuk mengantar anaknya jajan malah duduk di kursi karet tempo dulu di beranda rumah. “Yen sing gede koyo nggonmu tekan piro, Mbak (Kalau yang –berukuran- besar seperti punyamu sampai –harga- berapa)?” tanyanya lagi walau pertanyaan awal belum kutanggapi.

Reno-reno (macam-macam –harganya),” kataku singkat. Anaknya kemudian ikut bermain bersama  Wawa.

Sing cilik-cilik ngono kae iso dinggo main internet ora to, Mbak (Yang –berukuran- kecil bisa untuk internetan tidak)?” tanyanya lagi. Kali ini sepertinya yang ia maksud notebook. Lagi-lagi aku menjawab singkat, bisa. Jojo kembali menanyakan lagi harga laptop maupun notebook, tetap dengan istilah laptop cilik (kecil) dan laptop gede (besar).

Nggo opo laptopan barang (untuk apa pakai laptop segala)?” kata adikku dari dalam rumah pada Paijo.

Wah, kalah cepet terusok, geng. Saiki jamane internetan, camjikia yo nganggo internet. Jinguk, aku mung ngganggo HP kerep kalah disik (Wah, kalah cepat. Sekarang jamannya internet, cap jie kia juga memakai internet. Aku hanya memakai HP sering kalah cepat).”

Paijo yang hingga punya dua orang anak itu masih pengangguran rupanya masih akrab dengan judi. Tidak melulu ‘silo’ (bersila) atau judi yang menggunakan kartu dan meja berkaki pendek, tetapi juga malah menjadi tambang cap jie kia.

 

Laptop ngono kui wes otomatis iso dinggo internetan to, Mbak (Laptop biasanya langsung bisa otomatis dipakai untuk internetan kan)?” tanyanya lagi. Lalu kujelaskan bahwa untuk bisa berinternet biasanya memakai alat yang disebut modem. Modem bisa digunakan bla bla bla. Aku juga sedikit jelaskan bahwa tanpa modem pun, laptop bisa digunakan jika berada di area wifi blab la bla.

O, kudu ngisi pulsa to (Oh, harus isi pulsa ya)?!” ujar Paijo sambil manggut-manggut.

Gambar

Koe kapan muleh meneh, Mbak? Sok tak ngajari nganggo laptop nggo internetan (Kapan pulang lagi? Besok aku minta diajari memakai laptop untuk intenetan),” kata Paijo padaku.

Cap jie kia adalah salah satu jenis judi yang kini marak lagi di kampungku. Dulu, pada jam-jam tertentu aku mendengar orang berteriak, “Kerok,” “Dimpil”, “Petik” atau “Nengkrang”, tiap dua jam sekali per harinya. Seingatku, pukul 9 pagi adalah jam dimulainya perhelatan judi ini. Bukaan kedua dilakukan dua jam kemudian. Begitu pula jam-jam bukaan berikutnya berselang dua jam-dua jam.

Bagi sebagian orang di kampungku, judi jenis ini kadang hanya menjadi hiburan di tengah hidup yang berat. “Aa mbange nggo mendem, tuku camjikia kae, etuk lumayan. Raetuk ora ngrusak awak. Idep-idep nggo hiburan mbange nonton berita kisruh wae (Ketimbang untuk mabok mendingan beli cap jie kia saja. Jika dapat lumayan, jika tidak menang tidak meresak badan. Untuk hiburan ketimbang menonton berita kekisruhan saja),” tukas tetanggaku, Anda.

Namun, pilihan hiburan kerapkali melenakan. Harta benda tahu-tahu habis. Meski demikian, dari waktu ke waktu judi tetap saja diminati, tidak terkecuali cap jie kia.

Teriakan bukaan cap jie kia biasanya estafet akan dilanjutkan pada orang-orang yang mendengarnya.  Rupanya cap jie ki sudah mulai berafiliasi dengan teknologi. Internet! Oh, makanya sudah tidak kudengar lagi teriakan, “Babi!”, “Ratu!”, “Kanthong!”, “Gunung!” dan yang lainnya.

 

 

Terik yang ragu-ragu di Solo