Hidup di rantau alias tidak di kampung sendiri ada enaknya ada nggaknya. Kali ini, kumencoba tinggal di wilayah yang ketat memberlakukan aturan berdasarkan keyakinan tertentu. Yap, sekalipun aku sendiri bagian dari mayoritas kepercayaan di wilayah itu dan tetap gaul bersama mereka.
Suatu kali ketika antri di ATM, seorang bapak berpakaian dinas pegawai negeri tiba-tiba nylonong ketika giliranku tiba. “Ambo tergesa-gesa, Dik. Sorry,” katanya.
Darah mudaku rupanya tak mau kalah. Ya iyalah, sudah ikutan antri, tiba-tiba yang datang belakangan mau dapat duluan. “Pak, antri lah!” Bapak berperut gembul itu malah lagi-lagi bilang, “Sorry, saya mau cepat.” Kusahut lagi, “Bapak pikir yang tergesa-gesa Cuma Bapak!” Aku tidak peduli sekalipun ia hampir masuk ke ruangan kecil itu. Tubuh kurusku nylonong masuk. Mukanya masam saat kukeluar, aku tak peduli.
Kejadian serupa di tempat sama terjadi berulang. Bedanya, aku bersama mbak Elis teman sekantorku. Kali itu, aku mendapat ‘peringatan kecil’ dari mbak Elis. “Ngalah, Nuk. Kita bukan orang sini. Orang pasti menyorot walau mereka yang salah. Lebih-lebih kamu pakai kaos -ada logo- lembaga,” ujarnya padaku. Wew, orang local selalu benar! Tak hanya dua, persoalan-persoalan lain kerapkali muncul dan aku yang orang luar wilayah ini harus selalu ngalah.
Saat isu pendangkalan iman melejit, lembaga tempatku bekerja pun disebut-sebut. Bahkan orang local seperti Bang Putra, Bang Asri dan beberapa teman lelaki yang sedang melakukan ibadah berjamaah ikut mendengar.
Selalu ada standar ganda yang dikenakan pada orang luar, apapun lebel keyakinannya. Tentu saja, mbak Elis yang berkeyakinan berbeda, bukan orang local, dan orang Timur itu sangat berhati-hati bersikap. “Sudah berhati-hatipun masih sering diperlakukan tidak enak hehehe…”
Anehnya, sebagian kecil orang beranggapan mencuri sandal di depan rumah yang kami sewa adalah sah sekalipun kuyakin keyakinannya melarang hal itu. Prilaku lain, memotong-motong pohon di halaman belakang, lalu hanya menyerakkan hingga mengenai tanaman sayur kami tanpa permisi. Atau melompat pagar seperti yang dilakukan para jejaka kemarin sore untuk mengambil, jika tidak dikatakan kasar mencuri, mangga di halaman depan. ”Kami kira tidak orangnya Kak,” dengan melenggang.
‘Peringatan’ mbak Elis untuk selalu ngalah kali ini tak kupedulikan. Alasan tidak ada orang di rumah bukan berarti perbuatan yang benar bagi seseorang melompati pagar orang, terlebih mengambil sesuatu di dalam pagar. Memakinya hanya untuk menunjukkan bahwa aku sangat tidak suka perilaku itu.
Gumanku ketika tiga lelaki itu pergi, “Apa begini ini jika keyakinan tidak menjadi pedoman hidup. Larangan ke ‘orang lain’ bisa saja disampaikan hingga mulut berbuih, tapi tidak berkaca pada tindakan sendiri.” Yap, beginilah hidup di rantau….