Kue Ulang Tahun

Dani  pulang saat gelap mulai merayap. 

“Ini dari Kartawi,” katanya. Dus Saimen Bakery yang masih di kantong plastik transparan disodorkan padaku.

“Wah, kok malah dikasih roti?” tanyaku. Dani yang masih lelah -tentu saja, dia dua kali perjalanan pulang pergi (4 kali) ke Dusun Sungai Tebal, sekali jalan butuh waktu 45 menit- bercerita.

“Kartawi gelo, dia dikasih kejutan sama teman-temannya. Kue itu diambil dari dalam mobil untuk hadiah ulang tahunnya. Bahkan tidak dibuka sekalipun langsung dikasihkan ke aku. Suruh bawa pulang,” tutur Dani.

Sembari Dani bercerita, kardus itu kulihat isinya. “Ya ampun, Dan. Ini kan kue ulang tahun!”

Dani menyahut,”Gelo… Sudah kubilang untuk bawa aja. Dia malah bilang, ‘Kan ini sudah jadi milikku. Jadi bebas mau kuberikan ke kamu.'”

Sebab penasaran, juga kebetulan perutku lapar, kukatakan pada suamiku itu, “Kupotong ya, Dan.”​

“Jangan! Difoto dulu! Nanti fotonya dikirim ke Kartawi.” Uh, aku sedikit kecewa. Gorengan sisa dari kawan-kawan tadi segera jadi sasaranku. Dani belum mau makan nasi, aku enggan juga makan nasi tanpa Dani.

Satu setengah jam berlalu. Kami sudah makan nasi pula. “Dan, kapan difoto kuenya? Aku pengen nyicip,” desakku.

Baru ia ambil kamera. Aku sendiri ambil potret dengan androidku. Kalau bagus hasil gambarnya, bisa segera kukirim ke Kang Kartawi, pikirku. “Dah, potonglah,” kata Dani.

“Di sini, Dan? Segini? ” tanyaku seraya mengepas-paskan pisau plastik yang sudah ada di kardus.

“Entahlah. Potong asal saja asal terpotong. Aku juga belum pernah motong kue ulang tahun,” katanya jujur. Matanya tidak beralih dari buku yang tengah dibacanya.

“Tolong ambil piring kecil, Danke,” pintaku. Segera Dani beranjak ke dapur. Sepotong kue ulang tahun dicuilnya dengan sendok teh.

“Tidak ada yang istimewa rasanya. Biasa saja. Enak bolu di Royal Bakery,” ujar Dani.

Pada lidahku juga kucecap rasa yang sama dengan yang dirasa Dani. Tidak ada yang istimewa. Biasa saja.

Kelak, kue itu baru ‘finish’ di hari kelima setelah kupotong.

-*-

Jujur aku selalu terlambat mengucapkan Selamat Ulang Tahun pada Capung, temanku saat kami masih bekerja di KKI Warsi dulu. 

Selalu saja Capung yang mengucapkan duluan padaku di hari ulang tahun kami yang sama tanggalnya, 28 April. Satu kalipun seingatku belum pernah aku mendahului.

Hari ulang tahun tidak pernah diperingati satu kalipun di keluargaku. Hanya yang punya hajat diam-diam menyimpan kenangannya sendiri di hari ulang tahunnya. Dari tujuh bersaudara, tanggal lahir saudaraku yang kuingat hanya tanggal lahir Mbak Nunik, 12 Februari. Saudaraku yang lain, Jony adikku yang juga anak bungsu hanya kuingat bulannya, Juni. Saudaraku yang lain tidak kuingat satupun.

Kue ulang tahun tidak pernah ada di rumahku dengan embel-embel tiup lilin itu tentu saja. Seumur-umur ini,  baru kucicip kue ulang tahun dari Kang Kartawi inilah. Kucicip, oh, kumakan malah.

Beberapa kali aku memang diundang teman-temanku hadir di acara ulang tahunnya. Kesemuanya dimasa kecilku. Walau begitu, aku belum pernah menyecap kue ulang tahun teman yang mengundangku itu. Kue yang boleh jadi untuk sebagian orang dianggap kue keramat, istimewa, pastilah hanya dipotong dan diberikan pada orang yang diistimewakan oleh si yang berulang tahun. Aku sendiri hanya undangan umum, tidak atau belum pernah menjadi salah satu tamu atau teman yang diistimewakan. Kue itu seingatlu tidak pernah dibagikan habis ke tamu. Dibiarkan saja jadi pajangan, yang mungkin mata kanak-kanakku hanya bisa mencuri pandang.

Kue itu, kulihat potongan dari kedua sisinya serupalah dengan bolu pengantin di Solo, yang dulu demikian populer untuk menyuguh tamu. Atas warna kuning, bawah warna coklat. “Ah, paling rasanya hanya begitu. Entahlah rasa lapis-lapis gula yang memghiasinya. Mungkin bikin eneg, entahlah,” pikirku.

Kue ulang tahun itu, ya ternyata hanya begitu rasanya.

“Kamu tidak pengen nanti ulang tahun dikasih kue tart itu?”

Tidak. Untuk apa? Istimewa juga tidak. Rasanya maksudku.

-*-

Ulang tahunku pernah juga satu kali dirayakan. Dulu saat aku kuliah. Masuk semester berapa, aku lupa. Aku juga tidak ingat tanggal tepatnya. Sebab perayaan ulang tahun itu adalah perayaan dari beberapa orang yang digabung. 

Mas Adi temanku di Lembaga Pers Mahasiswa Pabelan, juga nok Nurlaili Hidayah sahabat sekaligus teman seangkatan sejurusan, dan teman di Pabelan juga, siapa lagi…aku lupa. Dirayakan di Griya Mahasiswa dengan nasi ala bancak’an anak-anak, tumpeng nasi sayur urap atau gudangan, telur rebus yang dipotong-potong. Semua dimasak ibu dan saudaraku di rumah. Ibu juga menyiapkan pincuk atau wadah makan dari daun pisang. Siapa penggagasnya? Aku tidak ingat.

Sampai hari ini, ulang tahun tidak pernah menjadi hari istimewa. Suamiku hanya ingat tanggal pernikahan kami -itupun aku sangat bersyukur, tidak ingat tanggal resepsi pernikahan kami, juga tidak ingat tanggal lahirku. 

“Bulan ulang tahunmu pun aku tak ingat, apalagi tanggalnya,” begitu jujurnya dia.

Tahun lalu, saat tanggal lahirku mendapat gilirannya di kalender, Dani hanya mengatakan, “Oh, kamu ulang tahun ya hari ini? Fesbuk (facebook) baik ya, selalu mengingatkan hari ultah seseorang. Selamat ya,” dikecupnya keningku.

Hari ulang tahunku tahun ini, Dani tidak di rumah. Ia bersama teman-teman menghadiri pernikahan seorang teman baik di luar kota. Dani pergi belum pukul 7 pagi tadi. Tidak juga ada ucapan, “Selamat Ulang Tahun, sayang…,” aku tahu benar dia lupa. Androidnya habis batrei sehingga ia pergi ke pesta tanpa bisa update fesbuknya. 

Aku sendiri berencana bekerja di kebun seperti biasa. Merumput. Hari ini hari istimewa? Ah, ada teman-temanku yang menyelamatiku, juga mengirim doa. Terima kasih sangat.

Jika Pemulung Dilarang Masuk

Jeritan Rijal dari kamar sebelah memekakkan telinga. Jeritan anak usia hampir tiga (3) tahun itu menyaingi suara mengaji anak-anak dari masjid yang selalu menggunakan load speaker. Usia Rijal hampir tiga tahun, itu yang dikatakan Teh Titin, ibu Rijal padaku. Tidak pula kupertanyakan lebih lanjut usia RIjal tiga tahun itu kurang berapa bulan atau berapa hari.

“Diam! Ceurik wae (nangis saja).” Suara keras ayahnya justru membuat jeritan Rijal semakin menjadi.

“Mama kerja, Adek. Eta sore uih (pulang). Cep,” suara lembut gadis belia. Sesaat kemudian jeritan Rijal malah semakin keras. Suaranya berpindah persis di depan pintu kamarku. Dug dug dug, kakinya pun ikut mengamuk. Ia tidak terima ibunya pergi tanpa mengajaknya.

GambarSejak akhir bulan lalu, setiap pagi kala daun-daun masih menghitam Rijal menjerit-jerit. Teh Titin terpaksa meninggalkan anak bungsunya untuk bekerja. “Teteh ikut orang, Neng. Jadi pembantu. Bersih-bersih rumah, masak, nyuci di perum eta seberang jalan,” ujarnya.

Hari-hari sebelumnya, ibu lima anak ini hanya bekerja satu hari di hari Jumat. Pekerjaan yang sama, menjadi pembantu. Menurutnya, bekerja satu hari dalam satu minggu tidak menguntungkan. “Rugi Neng. Buat ongkos angkot saja genep (enam) ribu bolak-balik. Bawa pulang uang hanya sembilan ribu. Teteh dikasih gaji 15 ribu. Kalau setiap hari kerja mah jadi banyak hasilnya kan.”

Pemulung Dilarang Masuk

Suatu sore, Teh Titin bercerita padaku tentang pengalamannya bekerja menjadi pembungkus krupuk di Desa Nasol, Kecamatan Cikoneng, Ciamis. “Sebelum kerja tiap hari Jumat eta, Teteh kerja ikut orang bungkus krupuk. Berangkat pagi-pagi pulang bedug maghrib, dapatnya delapan ribu. Kalau beruntung bisa lah bawa uang 10 ribu. Dapatnya sedikit, tapi juragan Teteh mah baik orangnya. Tiap hari Teteh sama –orang-orang- yang kerja dibawain sisa yang dibungkus.”   

Suami Teh Titin bekerja sebagai pemulung. Dulu, kata Teh Titin, suaminya pernah menjadi pemulung di Kota Bandung. Hasil yang diperoleh dari memulung lebih banyak ketimbang menjadi pemulung di Ciamis.

“Sekarang mah Aa’ paling besar bisa pulang bawa Rp. 30 ribu dari memulung. Itu juga pulang sampai malam. Orang-orang mah makin banyak yang jahat, Neng. Gara-gara ada orang maling, sekarang di kampung-kampung, di perum dikasih tulisan ‘Pemulung dilarang masuk.’ Anu eta bikin Aa’ makin susah cari makan. Orang cari barang buangan buat makan saja dilarang,” keluh Teh Titin. Mata yang berkaca-kaca menatap tembok depan kamar kos kami.

Harga pangan yang merangkak naik dari hari ke hari membuat kehidupan keluarga Teh Titin semakin berat. Setiap hari, ia harus menyiapkan sedikitnya 1,5 kg beras untuknya makan beserta suami dan anak-anaknya. Jika tengah beruntung ada yang menjual beras raskin padanya, dengan senang hati ia memilih membeli beras yang kerapkali tak layak konsumsi ini.

Gambar

Perempuan berperawakan kurus ini tidak bisa hanya berpangku tangan menuunggu suami pulang memulung, lalu membelanjakan hasilnya. Teh Titin bekerja menjadi pembantu rumah tangga di salah satu keluarga. Ia dibayar Rp. 17 per hari untuk mencuci, memasak, bersih-bersih rumah, dan mengasuh menjaga Gilang sang bungsu.

”Terpaksalah Anis putus sekolah, Neng. Rijal nggak ada yang jaga kalau Anis ikut sekolah. Kesian juga, SD juga dia belum lulus. Tapi kalau Gilang nggak ada yang jaga, Teteh nggak bisa kerja. Ngandalin uang dari Aa’ buat makan nggak cukup. Belum jajan anak-anak. –anak- Yang sekolah juga kalau nggak dikasih jajan kesian.”

Kakak Anis, anak sulung yang lupa saya tanyakan namanya, diserahkan neneknya untuk dipesantrenkan di Bandung. Anak laki-laki kakak Anis lebih beruntung karena ia kini sudah kelas 3 SMP. Namun, terasa nyeri terasa ketika Teh Titin mengatakan padaku begini, ”Anis mah anak perempuan, Neng. Kalau ayak (ada) uang sekolah, kalau nggak ada uang nggak sekolah nggak apa-apa. Biarlah Santi dan Gilang (adik Anis) yang sekolah.”

# # #

Suatu kali kubaca tulisan postingan karikatur tentang perempuan miskin yang beranak banyak meminta derma pada kepada perempuan kaya beranak satu. Si kaya tidak memberikan uang tetapi memberikan pil KB.

Ingatanku melayang pada keluarga pengamen di seputar Jalan Pramuka di Jakarta, lima tahun lalu. Anak-anak yang masih balita memiliki adik lagi dan terus begitu. Seraya menunggu bis, kutanyai perempuan berkulit legam itu, mengapa tidak berKB saja. Jawabnya enteng khas orang jalanan. “Kalau ada KB gratis saya akan KB, Dik. Kan KB juga bayar. Kalau bisa KB, kami nggak bisa makan.”

Aku tersenyum kala perempuan berbocah empat itu menertawaiku. “Orang kaya kalau bosan bisa cari hiburan, sekurang-kurangnya nonton tv. Kalau kami apa? Rumah tidak punya apalagi tv. Apalagi untuk mengusir kebosanan hidup selain bercinta, Dik? Tapi ya jadinya begini, bunting terus macam tikus,” tukas perempuan asal Jombang itu.

  

Bawang Putih dan Indonesia di Pasar Jongke Solo

Cobo, Mbak, semene iki sewu! Reregan mundak kabeh koyo ngene kok Esbeye malah ngurus partai (Lihat ini. Segini kok seribu. Harga-harga naik semua kok Esbeye malah ngurus partai),” tutur seorang ibu yang kujumpai di Toko Budi.  Ia memperlihatkan padaku plastik untuk ukuran gula satu ons. Isinya satu siung besar sejempolku dan dua siung bawang putih kecil-kecil.

Gambar“Lha iyo, rego (harga) bawang kok koyo (seperti) emas!” timpal ibu-ibu lain di toko yang sama. Mereka, juga aku tengah mengantri di toko kelontong milik Babae di Pasar Jongke, Solo.

Hmm, aku baru tahu kalau harga bawang putih segila itu. Di Jawa Barat, tiap kali beli makan di warung makan aku tidak mendapat cerita seperti itu.

Ki bawang ganti rego edan-edanan. Sedelo meneh mesti reregan liyo melu-melu mundak, Mbak (Sekarang harga bawang putih berganti gila-gilaan. Sebentar lagi pasti harga-harga lain ikutan naik),” ujar Ibu berpotongan rambut pendek yang memperlihatkan belanja bawangnya.

Wong nduwur ora kober ngurus rakyate meneh. Kudune koyo Esbeye ki tumindak! Ora mung ngurus Demokrat wae. Ngurusi rego bawang wae raiso! Ditekan po piye ben ora larang koyo ngene iki (Orang atas –pejabat Negara- tidak punya waktu mengurus rakyatnya lagi. Seharusnya Esbeye bertindak. Tidak hanya mengurus Demokrat saja. Mengurus harga bawang saja tidak bisa. Ditekan atau bagaimana agar harga bawang tidak seperti ini),” kata ibu kedua.

Percakapan itu makin seru. Kasus Hambalang yang melibatkan sejumlah pejabat teras Demokrat, Century, sampai korupsi di berbagai daerah menjadi perbincangan ibu-ibu dan Babae. Aku memperhatikan, sesekali nimbrung. Percakapan itu terus kurekam. Asyik juga….

Korupsi neng Indonesia kui nyenengke. Wong kurupsi milyaran mung didendo paling pirang atus yuto. Kudune bandane dijaluk kabeh nggo ngopeni negoro, ngopeni rakyat. Haning, sopo wonge sing korupsi due isen? Raenek. Raine malah sumringah sajak ngece rakyat. Nurani wes podo mati. Sing kaji akeh, ning bajingan kabeh (Korupsi di Indonesia itu menyenangkan. Orang korupsi milyaran hanya didenda ratusan juta. Seharusnya harta bendanya diminta semua untuk menghidupi Negara, buat menghidupi rakyat.  Tetapi, siapa yang malu korupsi? Tidak ada. Wajah mereka sumringah seperti mengejek rakyat. Nuraninya sudah mati. Yang sudah berhaji juga banyak, tapi bajingan semua).” Babae mulai serius.

“Kok ora eling, mbiyen ngemis karo rakyat ben dipilih. Bareng wes kepilih mung korupsi (Kok tidak ingat, dulu mengemis pada rakyat agar dipilih. Sekarang sudah terpilih hanya korupsi),” tambah Babae.

Ibu pembeli bawang itu membuat kami tertawa ketika dia tiba-tiba mengatakan, “Cobo duit sing do dirampok koruptor kui nggo tuku bawang. Gulung koming bawang tenan aku wisan (coba uang yang dirampok para koruptor dipakai untuk membeli bawang putih. Sudah bergelimang bawang saya…).”

Spontan ibu kedua menanyaiku. “Biyen sampeyan (Dulu kamu) nyoblos opo, Mbak?” Senyum-senyum kukatakan saya belum pernah milih siapapun.

Oh, apik kui. Ora melu ngunduh dosa^ –bacanya seperti mbah Marijan mengatakan rosa. Sesuk pemilu meneh mbuh milih sopo. Sok yo ora milih wae (Bagus itu. Tidak ikut memanen dosa. Besok pemilu lagi entah milih siapa. Mungkin juga tidak memilih saja),” ujar ibu kedua.

“ Sing do mlebu partai ora koyo biyen. Biyen penggede-penggede partai ki ngopeni partai. Yen saiki, do mlebu partai mung arep njikuk sak akeh-akehe koyone negoro. Duit nggo rakyate mung sak hhhgggg…kabeh dibadog koruptor (Orang-orang yang masuk partai tidak seperti jaman dulu. Dulu pembesar partai yang menghidupi partai. Sekarang ini orang masuk partai hanya untuk mengambil alih kekayaan Negara. Uang untuk rakyat hanya hhggg….semua dimakan koruptor),” tandas ibu pertama.

Rakyat ki dipateni alon-alon. Endi asset negoro sing didueni negoro? Tambang, sawit, nganti tekan banyu we kabeh wes didol! Wes radue opo-opo Indonesia ki. Opo ora ngeri? Mart-mart wes mblusuk kabeh neng kampung. Kui lak mateni wong cilik (Rakyat dibunuh pelan-pelan. Mana asset Negara yang masih dimiliki Negara? Tambang, sawit, sampai air pun sudah dijual. Indonesia sudah tidak punya apa-apa. Apakah tidak mengerikan? Mart-mart sudah berada di kampung-kampung. Itu kan membunuh orang kecil).”

“Mat opo, Bah (Mat apa)?” tanya ibu kedua memotong pembicaraan Babae.

Mart. Kui lho Indomaret, Alfa Mart. Wong cilik ki bakulan bathine ora sepiro a nggo urip. Dipateniok bakulane. Yen wong nduwuran teken OK, lurah iso opo? (Itu lho Indomaret, Alfa Mart. Orang kecil yang berjualan untungnya tidak seberapa untuk melanjutkan hidup, dibunuh hidupnya. Kalau orang ‘atas’ teken OK, lurah bisa apa?),” lanjut Babae.

“Bu Tarjo,” kata Cacik’e dari dalam tokonya. Aku lantas berpamitan pada ibu-ibu  yang masih asyik berbicara itu.

Ayo, Makan Siang di Baregbeg!

Matahari belum sampai tengah kepala ketika aku, Pak Bambang, Bang Jafar, dan Kang Endra tiba di warung makan Tanjakan Ali Nayin, Kecamatan Baregbeg, Kabupaten Ciamis. Satu mobil bercat telah terparkir di pinggir jalan. Persis di belakang mobil kami, satu mobil berplat dinas mengikuti parkir kami.

“Wah, kebak (penuh), Mbak,” tutur Pak Bambang sebelum langkah kakinya turun menyusuri jalan bersemen selebar satu meter ke arah warung. Penikmat warung milik Tarwiyah hari ini tidak terlalu penuh ternyata. Di bangku sebelah kiri dari pintu masuk, hanya dua orang laki-laki tua. Sedangkan di sisi kanan, aku tidak menghitung. Ada keluarga kecil bersama anaknya yang usia belasan tengah menikmati makan siang. Kutilik di meja, para pengunjungnya baru saja pergi dan si ibu belum sempat mengambil daun bekas bungkus nasi.

Gambar

Gambar

Nasi di bangku meja kami, nasi timbel, hanya tersisa tiga (3) bungkus. Si ibu yang kemudian kutahu rai (adik) Tarwiyah cekatan mengambilkan nasi dari bangku sebelah. Pun ketika kami ingin lauk pepes jamur. Bang Jafar yang ureung Aceh tak lupa memesan makanan kesukaannya. “Pete, Buk. Dua ya.” Pete dibakar di tungku yang terlihat oleh kami. Tidak kurang dari lima menit pete bakar dihidangkan pada kami.

Gambar

Saat aku masih menikmati tempe goreng tepung –yang menurut Pak Bambang sangat pas dan enak, teteh berjilbab yang baru kali ini kulihat menyodorkan sepiring daun. Selekasnya kutanyai nama dedaunan yang masih kuyup air dan segar itu. “Daun sawi dan daun dewa,” ujarnya. Ia cepat menghilang ke belakang.

Warung yang selalu ramai pengunjung, tetapi tanpa plang nama ini memang selalu menyajikan dedaunan untuk lalap yang aneh. Setidaknya begitu kusebut olehku sendiri. Daun kemangi dan kubis menjadi lalapan biasa yang disajikan di warung-warung lesehan di Solo, kotaku. Namun, daun dewa (aku baru lihat dan tahu namanya juga di warung ini), daun kencur, daun sawi lengkap dengan akarnya yang putih seperti lobak, daun yang lebih mirip daun beringin dan aku lupa nama daun ini, serta dedaunan-dedaunan lain adalah lalapan baru bagiku.

“Daun ini bisa dimakan juga nggak ya Kang?” tanyaku iseng pada Kang Endra. Daun yang kutunjuk adalah daun talas tiga warna, hijau bintik-bintik putih, di selingi warna merah. Dedaunan itu subur di atas selokan yang airnya kali ini agak coklat tanah. Kang Endra mengatakan sambil tertawa, bisa, setelah itu mulut bentol-bentol.

Sambal terasi yang belum ada duanya kutemukan di rumah atau warung makan lain membuat lidahku bergetar. Di hari-hari yang lalu, Tarwiyah lah yang sering kulihat menguleg cabe dan bumbu lainnya untuk menjadi sambal berwarna merah pucat. Usai makan, ketika aku mengambil wajik ketan dan kacang, kukatakan pada pemilik warung, “Tumben sambalnya kali ini pedas sekali, Buk”

Walau kepedasan, Kang Endra malah bergeser. Ia mengambil sambal satu sendok makan, lalu mencocolnya dengan tahu goring. “Pedas, Mbak, tapi enak sambalnya,” ujar bapak satu anak ini.

Generasi kedua

Jika sedang ramai-ramainya, ada seorang laki-laki yang tiba-tiba menjadi tukang parkir. Ia duduk-duduk saja di bawah pohon Talok (nama di Solo, Cerry di beberapa tempat) sambil menunggui mobil yang datang dan pergi. Jalanan arah Ciamis-Kawali-Cirebon depan warung Tanjakan Ali Nayin tidak terlalu padat, tapi kelokan-kelokannya cukup tajam.

Gambar

Warung yang selalu ramai di jam-jam makan siang ini tidak buka dari pagi. “Jam 10an sudah siap. Ibu mah buka sampai jam setengah genep (enam). Tapi kalau cepat habis ya cepat tutup.”

Ibu Tarwiyah menuturkan, bersama saudaranya, ia mulai masak dari pukul 5.30, baik di rumahnya maupun warung. “Yang tugasnya belanja rai. Pagi-pagi dia ke pasarna,” katanya.

Gambar

 

Gambarng 

Menurut cerita perempuan berusia 50 tahunan ini, pendiri warung adalah orang tuanya. Warung mulai berdiri tahun 1981. Ia merupakan generasi kedua dalam mengelola warung yang masih menggunakan kayu untuk memasak makanan-makanannya. Dalam sehari, sesepi-sepinya ia bisa memperoleh Rp 600.000. “Kalau rame mah, Rp 700.000-800.000 dapat, Neng. Tapi masih dibagi-bagi lagi,” akunya.

Sajian warung sederhana yang tidak lekang sejak lama adalah pepes, baik pepes ayam, jamur, serta mujaer, serta jenis-jenis ikan lain. Makan siang kali ini, berempat kami membayar Rp 30.000.

Selingkuh atau Jadi Selingkuhan? Biasa….

Baru dua (2) Sabtu aku menyewa kamar di kampung ini, banyak kudengar kisah –yang menurutku antara- lucu dan ironis. Aku tidak akan menyebutkan nama kampungnya. Letak kampung ini kira-kira di pertengahan antara Kota Ciamis dan perbatasan Tasikmalaya. Seperti umumnya kampung-kampung di Ciamis, kampung ini banyak ditemukan kolam ikan air tawar. Persis di belakang kamar kosku juga kolam ikan. Meskipun tidak terlalu padat, rumah-rumah ini seperti menyatu. Mengarah ke jalan utama, petak-petak sawah dan kebun makin segar usai disiram gerimis. Ya, hanya gerimis yang turun setelah minggu lalu diguyur hujan hingga menyebabkan banjir di kosanku.

Di sini, persis di arah depan kamarku, berselang satu rumah adalah rumah Teh Dudu. Anaknya laki-laki menderita down syndrome.  Nama persis anak laki-laki itu belum kutahu. Ia dipanggil Abang. Teh Dudu suka sekali menggodanya dengan menyanyi lagu yang belum kutahu judulnya dan kelanjutannya pula. “Bang, beli bawang….” Kalau sudah begitu, Abang langsung menyahut, “Nyanyi eta wae ih!” Mimiknya seperti marah, tetapi hanya dalam hitungan kurang dari lima (5) detik. Abang biasanya langsung mengoceh atau melanjutkan bermain.

Anak laki-laki itu sangat takut sama monyet (Macaca). Kutahu ketika tadi siang, kami berlibur ke Karang Kamulyan. Ia tidak lepas dari gendongan kakeknya. Beberapa kali pamannya menggoda dari belakang, mengagetinya. “Sudah dua kali ke sini, tapi tetep wae takut sama monyet,” tutur Teh Dudu.

Abang yang usianya empat (4) tahun itu sangat akrab dengan pamannya yang pegawai Dinas PU, Pak Aa’. Rumah mereka saling berhadapan dan hanya berselang jalan bersemen selebar satu (1) meter. Abang tinggal tidak bersama ayahnya. “Entah bapaknya kamana…” kata nenek Abang. Matanya menerawang sedih.

Teh Dudu perempuan yang ceria. Hampir setiap pulang kerja, ia datang ke depan kosanku. Dari cerita atau omongan-omongannya, orang-orang tertawa terpingkal-pingkal. Hanya aku yang kadang tertawa, itupun terlambat setelah diterjemahkan. Tidak seperti perempuan kebanyakan, Teh Dudu penikmat rokok.  

Pacaran masa tua

Sebelah kiri kamarku kamar Bi Amoy. Janda lima (5) anak ini memilih tinggal sendiri dan menyewa kamar. Dari kelima anaknya, anak bungsunya masih melajang dan ikut pamannya. “Anak ibu yang bungsu masih kuliah, Neng. Sekarang bantu-bantu pamannya di lestoran (restaurant).”

Sambil menggelesot di kamar kos saya, Bi Amoy bercerita. “Dulu rumah saya di Ciamis. Besar Neng rumah saya. Ada enam (6) kamar. Tapi anak saya terlilit hutang. Dia pinjam uang di bank, trus sertifikat rumah saya diganti nama dia. Dia gadaikan sertifikatnya. Utangnya Rp 50 juta. Kan nggak bisa nyicil, rumah saya disita. Sudah jadi Rp 80 juta lebih hutangnya. Dia bilang rumah saya akan diganti, mau dibelikan yang baru. Hegggg, utangnya saja nggak bisa bayar.”

Bi Amoy telah bekerja sejak sebelum menikah. Ia tidak diperkenankan bersekolah oleh orang tuanya. “Yah, sampai sekarang buta huruf,” ujarnya sambil tertawa. Memperlihatkan dua gigi depannya yang telah tanggal.

Perempuan yang berjualan sayur sejak usianya belum genap 15 tahun ini telah menjanda dua (2) kali. “Yang pertama ditinggal kawin lagi. Sama dia –mendapat- satu anak. Juragan krupuk dia Neng. Dulu waktu sama saya dari belum kaya, masih ikut orang. Sampai akhirnya punya truk. Tiga,” sebutnya mantap.

‘Mantannya’ begitu dia menyebut suami pertamanya, kini telah dikarunia empat anak dari istri-istri berikutnya. “Sudah kawin cere (cerai) kawin cere dia mah.” Suami kedua Bi Amoy meninggal karena sakit. Bi Amoy tidak menikah lagi?

“Ibu mah sudah tua. Sudah 50 –tahun- lebih, Neng. Malu sama anak. Kalau butuh duit teh, tinggal minta sama anak ajah. Tapi Ibu punya pacar. Pacar aing sopir yang tiap hari anta jemput Ibu ke pasar eta, Neng. Tapi di pasar, Ibu juga punya pacar. Penjual daging, Neng. Jadi pacar Ibu dua,” kisahnya sumringah. ‘Pacar’ diucapkannya dengan nada mantap dan optimistis.

Penuturannya yang terbuka membuatku berani bertanya mengenai status pacar-pacarnya itu. Enteng saja si Ibu ini berujar, “Sudah. Ada istri anaknya. Sudah punya cucu mereka. Ibu mah buat senang-senang ajah.”

Disiri tak apa

Lain Bi Amoy lain pula Bi Cece. Dari perkataannya sendiri, Bi Cece telah menikah enam (6) kali. Dari kesemuanya, Bi Cece tidak mendapat satu (1) anakpun. “Dulu suami saya yang ke dua lebih muda dari Mamah, Neng. Mamah umur 25, suami ibu itu masih –umur- 17 –tahun. Mamah janda dapat brondong,” katanya sambil tertawa.

Perempuan 60an tahun lalu melanjutkan kisahnya, juga di kamar kosku. “Mamah kan dulu kerja di Jogja, Neng, di Seleman (Sleman). Mamah kerja mendreng (kredit segala macam perabor rumah tangga). Lama Neng, delapan (8) tahun. Tapi Mamah nggak bisa boso Jowo (berbahasa Jawa). Gimana mau bisa Jawa kalau orang-orang serumah sama Mamah Sundaaaaaa semua! Suami saya itu dulu pernah ikut ke sana –Yogyakarta. Kami pulang, kawin. Balik ke Jogja lagi suami saya nggak betah, ngajak pulang. Saya pikir-pikir, pulang mau kerja apa. Kami teh pulang, tapi mau balik lagi suami nggak mau. Gimana bagusnya cena (saya –Ninuk- tidak tahu makna kata ini), pisah.”

Bi Cece mengaku, dari keenam suamianya, suami kedua lah yang paling dia sayangi. “Gimana nggak sayang, Neng, dia masih muda. Ihhh, ganteng Neng! Nuruttttt sama Mamah. Kami pisah baik-baik. Sekarang dia sudah punya anak. Kalau saya nggak punya uang, suka saya ketemu dia. Mamah minta duit masih dikasih Neng. Dia di Tasik sekarang.”

Persisnya saya lupa berapa orang suaminya yang cerai hidup. Seingat saya dari cerita Bi Cece, suami terakhir meninggal, juga tidak meninggalkan anak. “Mamah teh sudah ada yang mau lagi, Neng. Dia bilang mau nikahin siri sama saya. Disiri aja nggak apa, Neng. Mamah teh prinsipnya asal ada yang bertanggung jawab aja.” Pertanyaanku tentang ‘calon’nya itu mendapat jawaban serupa dengan jawaban Bi Amoy, lelaki yang hendak menikahinya sudah mempunyai istri, anak, dan bahkan cucu.

 

Saling berpacaran

Menjadi pacar -barangkali istilah kasarnya selingkuhan- seseorang yang sudah mengikatkan janjinya dalam pernikahan seperti diceritakan biasa. Kudengar dan kuhitung dengan jariku, lebih dari 12 orang, bukan hanya dari ibu-ibu dan bapak-bapak di kampung ini. Cerita yang sama juga pernah kudengar dari pegawai di instansi pemerintahan.

Teh Nunuy yang berkamar di depan, menghadap dapur rumah Pak Haji, menyebutnya Bunda. Di usianya yang ke 52 tahun, penampilan Bunda masih top markotop seperti ABG. Alisnya dipangkas habis dan digantinya dengan coretan pensil alis warna coklat. Hanya ‘mak njlarit’ (segaris-terjemahan bebas, Jawa). Kulitnya kuning langsat, bersih. Selain suka lagu dangdut, Bunda juga menyukai lagu-lagu manca. ‘You and I’nya Scorpions menjadi nada tunggu handphonenya. Walau sepertinya tidak bisa melafalkannya dengan baik, Bunda tetap pede menyanyikan. Hemmmm, hemmmmm…lalu refrain/chorus (puncak emosi lagu) yang diucapkan sekedarnya.

Bunda menempati kamar sebelah kamar Bi Amoy. Saat aku tengah menjemur seprei, Bunda berhenti lalu bercerita panjang mengenai dirinya. “Bunda teh ada rumah, Neng, di belakang pasar. Ada anak Bunda yang paling kecil sama neneknya. Sekarang kelas 2 SMP. Kalau yang nomer dua sudah kerja jadi perawat di Bandung. Sudah tiga (3) tahun dia kerja di Bandung. Yang gede (pertama) kemarin istrinya baru saja melahirkan.”

Di kamar kos, Bunda hanya kadang-kadang datang. Hampir sama dengan penghuni kos paling ujung, sebelah kamar Bunda. Namun, keberadaan Bunda di kos lebih sering nampak ketimbang penghuni ujung. Bunda tidak menceritakan detail mengenai status perkawinannya seperti halnya Bi Amoy, Bi Cece, dan Teh Nunuy. “Kalau aa’ datang ke sini ya Bunda ke sini. Dia kan ada istri, ada anak. Tapi sering banget ngajak nginep di sini.”

Sok lugu kutanya, “Loh, kok ada istri, Bun?” dijawabnya ringan, “Iya, Bunda kan cuma pacaran sama aa’.” Saya manggut-manggut. Teringat kisah ibu-ibu yang ngrasani (menggunjing) ibu yang berkamar kos di ujung.

“Orang itu jarang datang, Neng. Dia istri muda. Entah yang ke tiga atau ke empat nyak? Katanya teh dikawin sirih. Kalau suaminya datang baru dia datang. Kan jarang nampak kan? Xxxx juga istri orang. Jadi dia punya dua suami. Yang satu suami resmi, yang satu nikah sirih,” tutur Mamah Idah. Saya lupa nama yang disebutkan ibu-ibu pada ibu berjilbab di kamar ujung itu.

Dalam diamku pelan-pelan terjawab bertanyaanku sendiri. Sekalipun di dinding luar kamarku tertempel berderet aturan, salah satunya harus menyerahkan identitas diri, dan aku tidak melakukannya tidak pula mendapat sanksi. Pun ada aturan tidak boleh membawa lawan jenis yang bukan suami atau istri sah (tertulis di aturan itu secara Negara), Bunda dan Ibu yang berkamar di ujung tetap aman tinggal. 

Belajar Internet Demi Cap Jie Kia

Aku lagi asyik bermain dengan ponakanku, Wawa, kala tetanggaku –sebut saja- Paijo menanyaiku. “Rego laptop pironan yo, Mbak (Harga laptop –pengucapannya persis dengan tulisan ini- berapa’an)?”

Paijo yang ke warung ibu untuk mengantar anaknya jajan malah duduk di kursi karet tempo dulu di beranda rumah. “Yen sing gede koyo nggonmu tekan piro, Mbak (Kalau yang –berukuran- besar seperti punyamu sampai –harga- berapa)?” tanyanya lagi walau pertanyaan awal belum kutanggapi.

Reno-reno (macam-macam –harganya),” kataku singkat. Anaknya kemudian ikut bermain bersama  Wawa.

Sing cilik-cilik ngono kae iso dinggo main internet ora to, Mbak (Yang –berukuran- kecil bisa untuk internetan tidak)?” tanyanya lagi. Kali ini sepertinya yang ia maksud notebook. Lagi-lagi aku menjawab singkat, bisa. Jojo kembali menanyakan lagi harga laptop maupun notebook, tetap dengan istilah laptop cilik (kecil) dan laptop gede (besar).

Nggo opo laptopan barang (untuk apa pakai laptop segala)?” kata adikku dari dalam rumah pada Paijo.

Wah, kalah cepet terusok, geng. Saiki jamane internetan, camjikia yo nganggo internet. Jinguk, aku mung ngganggo HP kerep kalah disik (Wah, kalah cepat. Sekarang jamannya internet, cap jie kia juga memakai internet. Aku hanya memakai HP sering kalah cepat).”

Paijo yang hingga punya dua orang anak itu masih pengangguran rupanya masih akrab dengan judi. Tidak melulu ‘silo’ (bersila) atau judi yang menggunakan kartu dan meja berkaki pendek, tetapi juga malah menjadi tambang cap jie kia.

 

Laptop ngono kui wes otomatis iso dinggo internetan to, Mbak (Laptop biasanya langsung bisa otomatis dipakai untuk internetan kan)?” tanyanya lagi. Lalu kujelaskan bahwa untuk bisa berinternet biasanya memakai alat yang disebut modem. Modem bisa digunakan bla bla bla. Aku juga sedikit jelaskan bahwa tanpa modem pun, laptop bisa digunakan jika berada di area wifi blab la bla.

O, kudu ngisi pulsa to (Oh, harus isi pulsa ya)?!” ujar Paijo sambil manggut-manggut.

Gambar

Koe kapan muleh meneh, Mbak? Sok tak ngajari nganggo laptop nggo internetan (Kapan pulang lagi? Besok aku minta diajari memakai laptop untuk intenetan),” kata Paijo padaku.

Cap jie kia adalah salah satu jenis judi yang kini marak lagi di kampungku. Dulu, pada jam-jam tertentu aku mendengar orang berteriak, “Kerok,” “Dimpil”, “Petik” atau “Nengkrang”, tiap dua jam sekali per harinya. Seingatku, pukul 9 pagi adalah jam dimulainya perhelatan judi ini. Bukaan kedua dilakukan dua jam kemudian. Begitu pula jam-jam bukaan berikutnya berselang dua jam-dua jam.

Bagi sebagian orang di kampungku, judi jenis ini kadang hanya menjadi hiburan di tengah hidup yang berat. “Aa mbange nggo mendem, tuku camjikia kae, etuk lumayan. Raetuk ora ngrusak awak. Idep-idep nggo hiburan mbange nonton berita kisruh wae (Ketimbang untuk mabok mendingan beli cap jie kia saja. Jika dapat lumayan, jika tidak menang tidak meresak badan. Untuk hiburan ketimbang menonton berita kekisruhan saja),” tukas tetanggaku, Anda.

Namun, pilihan hiburan kerapkali melenakan. Harta benda tahu-tahu habis. Meski demikian, dari waktu ke waktu judi tetap saja diminati, tidak terkecuali cap jie kia.

Teriakan bukaan cap jie kia biasanya estafet akan dilanjutkan pada orang-orang yang mendengarnya.  Rupanya cap jie ki sudah mulai berafiliasi dengan teknologi. Internet! Oh, makanya sudah tidak kudengar lagi teriakan, “Babi!”, “Ratu!”, “Kanthong!”, “Gunung!” dan yang lainnya.

 

 

Terik yang ragu-ragu di Solo

Ponakanku Sekolah di Pasar! Gurunya Pedagang Semua!

“Le le, kowe sekolah kok neng pasar! Gurumu pedagang kabeh! Sithik-sithik duit, sithik-sithik duit! (Le le -dari kata thole, anak laki-laki- kamu sekolah kok di pasar. Gurumu pedagang semua. Sedikit-sedikit uang, sedikit sedikit uang),” teriak mbak Puji pada Dio anaknya.

“Wingi mbayar uang gedung. Saiki ganti kon tuku susu! Kae, susumu sak kaleng kae kon nggaglak gurumu sisan wae! (kemarin bayar uang gedung. Sekarang disuruh membeli susu. Sana, susumu yang sekaleng itu suruh makan –bahasa kasar- gurumu saja),” lanjut mbak Puji.

“Lha gurune ndek ingi ngomong kudu nggowo susu Bonexxx –menyebut merk susu. Kabeh kon nggowo’ok. Sing ranggowo raetuk melu lomba. Raetuk hadiah (Kemarin guru mengatakan untuk membawa susu Bonexxx. Semua anak disuruh bawa. Yang tidak membawa tidak boleh ikut lomba. Tidak dapat hadiah),” tutur Dio. Mata anak kelas 2 Sekolah Dasar itu kadang mendelik, berkaca-kaca seperti hendak menangis.

Sambil menuding-nuding ke arah sekolah, mbak Puji berkata padaku. “Saiki lho, Bulik, bocah ngombe susune ora kui ning kudu nggowo susu kui. Po ra ndladuk? Yen ora ono isine, kerduse we rapopo. Wes kliling neng ndi-ndi raono. Nganti keklek sikilku mlaku neng ndi-ndi raono! Susu koyo ngono onone neng toko gede! (Anak tidak minum susu –merk- itu tapi diharuskan bawa susu itu. Apa tidak…-tidak ada terjemahan dalam Bahasa Indonesia? Kalau tidak ada isinya –susu, kerdusnya saja tidak apa-apa. Sudah kucari keliling kemana-mana tidak ada. Sampai capek kakiku mencari tidak ada. Susu merk itu adanya toko).”

Pada Dio, mbak Puji berkata lagi, “Sesuk yen kon muleh gurune mergo ranggowo susu Bonexxx, muleh! Raetuk hadiah, sesuk tak tukokke! (Besok kalau disuruh pulang oleh guru karena tidak membawa susu Bonexxx, pulang! Kalau tidak mendapat hadiah, besok kubelikan!).”

Mbak Yus, kakak iparku juga punya kisah sama, hanya merknya berbeda . Ocha, anaknya yang juga keponakanku setahun yang lalu diharuskan membawa susu merk tertentu. “Padahal Ocha yo ora ngombe susu xxxxxx kui. Mubeng-mubeng toko, etukke neng Tosuro kono (Padahal Ocha juga tidak minum susu xxxxxx itu. Putar-putar dari toko ke toko, dapatnya di Kartosuro sana).”

Aku jadi ingat ketika kumasih duduk di Sekolah Dasar. Beberapa kali aku pulang mendapat susu merk tertentu, atau juga multivitamin yang katanya membuat otak menjadi tokcer moncer! Bedanya, kami murid-murid tidak perlu membawa apapun untuk mendapatkan susu beberapa sachet atau sebotol multivitamin. Yap, tahu-tahu di sela waktu belajar, ada orang-orang berpakaian rapi, cantik-cantik dan ganteng-ganteng bagi-bagi susu!

Menurut mbak Yus, beberapa sekolah sekarang diajak kerjasama dengan perusahaan tertentu. Namun, langkah yang ditempuh guru kepada murid dianggap justru memberatkan wali murid. Bahkan seolah-olah membawa ‘barang dagangan’ ke sekolah menjadi wajib bagi murid. Dio, Ocha, anak-anak yang belum genap 8 tahun itu wajar risau, takut, apalagi jika hal itu dikatakan oleh seorang guru di sekolahnya.

Sekolah seharusnya punya posisi tawar kepada perusahaan ketika lembaga pendidikan dijadikan ‘pasar’ bagi produk perusahaan, sehingga tidak memberatkan murid dan walinya.

« Older entries