Dani pulang saat gelap mulai merayap.
“Ini dari Kartawi,” katanya. Dus Saimen Bakery yang masih di kantong plastik transparan disodorkan padaku.
“Wah, kok malah dikasih roti?” tanyaku. Dani yang masih lelah -tentu saja, dia dua kali perjalanan pulang pergi (4 kali) ke Dusun Sungai Tebal, sekali jalan butuh waktu 45 menit- bercerita.
“Kartawi gelo, dia dikasih kejutan sama teman-temannya. Kue itu diambil dari dalam mobil untuk hadiah ulang tahunnya. Bahkan tidak dibuka sekalipun langsung dikasihkan ke aku. Suruh bawa pulang,” tutur Dani.
Sembari Dani bercerita, kardus itu kulihat isinya. “Ya ampun, Dan. Ini kan kue ulang tahun!”
Dani menyahut,”Gelo… Sudah kubilang untuk bawa aja. Dia malah bilang, ‘Kan ini sudah jadi milikku. Jadi bebas mau kuberikan ke kamu.'”
Sebab penasaran, juga kebetulan perutku lapar, kukatakan pada suamiku itu, “Kupotong ya, Dan.”
“Jangan! Difoto dulu! Nanti fotonya dikirim ke Kartawi.” Uh, aku sedikit kecewa. Gorengan sisa dari kawan-kawan tadi segera jadi sasaranku. Dani belum mau makan nasi, aku enggan juga makan nasi tanpa Dani.
Satu setengah jam berlalu. Kami sudah makan nasi pula. “Dan, kapan difoto kuenya? Aku pengen nyicip,” desakku.
Baru ia ambil kamera. Aku sendiri ambil potret dengan androidku. Kalau bagus hasil gambarnya, bisa segera kukirim ke Kang Kartawi, pikirku. “Dah, potonglah,” kata Dani.
“Di sini, Dan? Segini? ” tanyaku seraya mengepas-paskan pisau plastik yang sudah ada di kardus.
“Entahlah. Potong asal saja asal terpotong. Aku juga belum pernah motong kue ulang tahun,” katanya jujur. Matanya tidak beralih dari buku yang tengah dibacanya.
“Tolong ambil piring kecil, Danke,” pintaku. Segera Dani beranjak ke dapur. Sepotong kue ulang tahun dicuilnya dengan sendok teh.
“Tidak ada yang istimewa rasanya. Biasa saja. Enak bolu di Royal Bakery,” ujar Dani.
Pada lidahku juga kucecap rasa yang sama dengan yang dirasa Dani. Tidak ada yang istimewa. Biasa saja.
Kelak, kue itu baru ‘finish’ di hari kelima setelah kupotong.
-*-
Jujur aku selalu terlambat mengucapkan Selamat Ulang Tahun pada Capung, temanku saat kami masih bekerja di KKI Warsi dulu.
Selalu saja Capung yang mengucapkan duluan padaku di hari ulang tahun kami yang sama tanggalnya, 28 April. Satu kalipun seingatku belum pernah aku mendahului.
Hari ulang tahun tidak pernah diperingati satu kalipun di keluargaku. Hanya yang punya hajat diam-diam menyimpan kenangannya sendiri di hari ulang tahunnya. Dari tujuh bersaudara, tanggal lahir saudaraku yang kuingat hanya tanggal lahir Mbak Nunik, 12 Februari. Saudaraku yang lain, Jony adikku yang juga anak bungsu hanya kuingat bulannya, Juni. Saudaraku yang lain tidak kuingat satupun.
Kue ulang tahun tidak pernah ada di rumahku dengan embel-embel tiup lilin itu tentu saja. Seumur-umur ini, baru kucicip kue ulang tahun dari Kang Kartawi inilah. Kucicip, oh, kumakan malah.
Beberapa kali aku memang diundang teman-temanku hadir di acara ulang tahunnya. Kesemuanya dimasa kecilku. Walau begitu, aku belum pernah menyecap kue ulang tahun teman yang mengundangku itu. Kue yang boleh jadi untuk sebagian orang dianggap kue keramat, istimewa, pastilah hanya dipotong dan diberikan pada orang yang diistimewakan oleh si yang berulang tahun. Aku sendiri hanya undangan umum, tidak atau belum pernah menjadi salah satu tamu atau teman yang diistimewakan. Kue itu seingatlu tidak pernah dibagikan habis ke tamu. Dibiarkan saja jadi pajangan, yang mungkin mata kanak-kanakku hanya bisa mencuri pandang.
Kue itu, kulihat potongan dari kedua sisinya serupalah dengan bolu pengantin di Solo, yang dulu demikian populer untuk menyuguh tamu. Atas warna kuning, bawah warna coklat. “Ah, paling rasanya hanya begitu. Entahlah rasa lapis-lapis gula yang memghiasinya. Mungkin bikin eneg, entahlah,” pikirku.
Kue ulang tahun itu, ya ternyata hanya begitu rasanya.
“Kamu tidak pengen nanti ulang tahun dikasih kue tart itu?”
Tidak. Untuk apa? Istimewa juga tidak. Rasanya maksudku.
-*-
Ulang tahunku pernah juga satu kali dirayakan. Dulu saat aku kuliah. Masuk semester berapa, aku lupa. Aku juga tidak ingat tanggal tepatnya. Sebab perayaan ulang tahun itu adalah perayaan dari beberapa orang yang digabung.
Mas Adi temanku di Lembaga Pers Mahasiswa Pabelan, juga nok Nurlaili Hidayah sahabat sekaligus teman seangkatan sejurusan, dan teman di Pabelan juga, siapa lagi…aku lupa. Dirayakan di Griya Mahasiswa dengan nasi ala bancak’an anak-anak, tumpeng nasi sayur urap atau gudangan, telur rebus yang dipotong-potong. Semua dimasak ibu dan saudaraku di rumah. Ibu juga menyiapkan pincuk atau wadah makan dari daun pisang. Siapa penggagasnya? Aku tidak ingat.
Sampai hari ini, ulang tahun tidak pernah menjadi hari istimewa. Suamiku hanya ingat tanggal pernikahan kami -itupun aku sangat bersyukur, tidak ingat tanggal resepsi pernikahan kami, juga tidak ingat tanggal lahirku.
“Bulan ulang tahunmu pun aku tak ingat, apalagi tanggalnya,” begitu jujurnya dia.
Tahun lalu, saat tanggal lahirku mendapat gilirannya di kalender, Dani hanya mengatakan, “Oh, kamu ulang tahun ya hari ini? Fesbuk (facebook) baik ya, selalu mengingatkan hari ultah seseorang. Selamat ya,” dikecupnya keningku.
Hari ulang tahunku tahun ini, Dani tidak di rumah. Ia bersama teman-teman menghadiri pernikahan seorang teman baik di luar kota. Dani pergi belum pukul 7 pagi tadi. Tidak juga ada ucapan, “Selamat Ulang Tahun, sayang…,” aku tahu benar dia lupa. Androidnya habis batrei sehingga ia pergi ke pesta tanpa bisa update fesbuknya.
Aku sendiri berencana bekerja di kebun seperti biasa. Merumput. Hari ini hari istimewa? Ah, ada teman-temanku yang menyelamatiku, juga mengirim doa. Terima kasih sangat.